Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahlan wa sahlan di dunia 'Baru Belajar'
love

Friday, September 3, 2010

Taubat dari Perbuatan Zinâ


Bismillah

Oleh: Al-Ustâdz Abû Abdillâh Muhammad Al-Makassarî

Ada pemuda-pemudi melakukan zina beberapa waktu yang lalu. Keduanya ingin bertaubat. Pertanyaan:

a. Bagaimana taubatnya?

b. Haruskah keduanya menikah?

c. Bagaimana kalau orang tua wanita tetap tidak setuju?

d. Bagaimana nanti status anak keduanya?

Mohon bantuannya supaya mereka berdua dapat kembali ke jalan yang benar.

Ahmad Abdullah
ahm…@plasa.com

Jawab:

Cara Taubatnya

Keduanya bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha yaitu dengan memenuhi tiga syarat taubat yang disebutkan oleh para ulama. Tiga syarat ini disimpulkan oleh para ulama dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pertama, keduanya harus menyesali perbuatan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

النَّدَمُ تَوْبَةٌ

“Sesungguhnya penyesalan itu adalah taubat.”1

Karena itu hendaklah keduanya menyesali apa yang telah mereka lakukan.

Kedua, melepaskan diri dan menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari perbuatan yang seperti itu. Tidak lagi mengulangi maupun mendekati apa-apa yang akan menyeret dan mengantar kepada perzinaan, seperti pergaulan bebas dengan wanita (pacaran), berbincang-bincang secara bebas dengan wanita yang bukan mahram, bercengkerama, ikhtilath/bercampurbaur. Semuanya adalah perkara yang diharamkan syariat untuk menutupi pintu perzinaan. Hendaknya keduanya menjauhkan diri dari itu semua.

Ketiga, kemudian keduanya ber-‘azam/bertekad kuat untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya tersebut. Juga beristighfar kepada Allah, memohon ampunan-Nya. Dalam hal ini ada hadits Abu Bakr Ash-Shiddiq tentang disyariatkannya seseorang yang telah melakukan perbuatan maksiat untuk shalat dua rakaat lalu memohon ampunan kepada Allah.2

Haruskah Keduanya Menikah?

Keduanya tidak harus menikah. Namun tidak mengapa keduanya menikah dengan syarat: apabila wanita yang telah dizinai tersebut hamil karena perzinaan itu, maka tidak boleh menikahinya pada masa wanita itu masih hamil. Mereka harus menunggu sampai si wanita melahirkan bayinya, baru boleh menikahinya. Inilah pendapat yang benar yang disebutkan oleh ulama, yaitu bahwa wanita yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahi sampai melahirkan. Karena di sana ada dalil yang menuntut adanya istibra` ar-rahim (pembebasan rahim) dari bibit seseorang. Karena itu rahim harus dibebaskan terlebih dahulu dengan cara menunggu sampai lahir, sehingga rahimnya bebas tidak ada lagi bibit di dalamnya. Setelah itu baru bisa menikahinya. Itu pun apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.

Apabila wanita yang dizinainya tidak sampai hamil, maka pembebasan rahimnya dengan cara menunggu haid berikutnya. Setelah melakukan perzinaan kemudian dia haid. Dalam kasus yang seperti ini, boleh menikahinya setelah melewati satu kali masa haid, yang menunjukkan bahwa memang tidak ada bibit yang tersimpan dalam rahimnya. Dan tentunya ini apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.

Adapun jika salah satu dari keduanya belum bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga salah satu dari keduanya masih berlaku padanya nama zaani (pezina) maka keduanya tidak boleh menikah. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

﴿الزَّانِي لا يَنْكِحُ إِلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ﴾

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.” (An-Nur: 3)

Maksudnya, seorang pezina diharamkan menikah dan sebaliknya wanita pezina juga haram dinikahi. Jadi bolehnya menikah adalah apabila keduanya memang sudah bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga tidak lagi dinamakan lelaki pezina atau wanita pezina.

Bagaimana Status Anak Keduanya?

Ini tentunya kalau ditakdirkan bahwa wanita yang dizinai tersebut hamil akibat perzinaan tersebut. Status anak tersebut adalah anak yang lahir karena perzinaan. Anak ini tidak boleh dinasabkan pada lelaki yang berzina dengan ibunya, karena dia bukanlah ayahnya secara syariat. Oleh karena itu, sang anak dinasabkan kepada ibunya. Demikian pula tidak boleh saling waris-mewarisi. Juga seandainya anak tersebut wanita, maka laki-laki tersebut tidak boleh menjadi walinya dalam pernikahan dan juga bukan mahramnya sehingga tidak berlaku padanya hukum-hukum mahram. Sehingga laki-laki itu tidak boleh berkhalwat dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, tidak boleh berjabat tangan dengannya, dan seterusnya. Satu-satunya hukum yang berlaku adalah bahwa si laki-laki tidak boleh menikahi anak hasil perzinaan tersebut, karena anak wanita itu berasal dari air maninya. Hanya ini satu-satunya hukum yang berlaku, sebagaimana diterangkan oleh para ulama. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote:

1 HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dan yang lainnya dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah (4252).
2 HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (1021).

Sumber: Majalah Asy Syarî`ah, Vol. III/No. 26/1427H/2006, Kategori: Problema Anda, hal. 74-75. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=376

http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/munakahat-keluarga/taubat-dari-perbuatan-zina/

read more - Taubat dari Perbuatan Zinâ

Thursday, September 2, 2010

Bolehkah Hijab dan Cadar Berwarna Cerah?


Bismillah,
Pertanyaan:
Dalam berhijab dan bercadar, Apakah seorang wanita diperbolehkan memakai warna yang cerah seperti warna merah, warna hijau, biru, ungu, dan yang lainnya? Dengan alasan bahwa tidak ada larangan bagi seorang wanita memakainya?
(ditanyakan pada safari dakwah ulama ahlussunnah, Balikpapan Selasa tanggal 02 Rabi’ul Awal 1431 H)
Jawaban:
Oleh Asy Syaikh Abdullah bin Umar Al Mar’I hafidzhahullah

Telah disebutkan dalam Ash Shahihain, Shahih Al-Bukhori dan Muslim, dari hadits Aisyah rodhiyallahu ta’aala ‘anhaa bahwa pada saat pertama kali diturunkannya ayat hijab, para wanita Anshor, begitu mereka mendengarkan tentang ayat tersebut maka merekapun bersegera untuk mengamalkannya. Sehingga disebutkan di dalam hadis tersebut bahwa aku tidak melihat seperti wanita anshor, yaitu dalam hal pemenuhan seruan dan kesegeraan mereka menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk berhijab. Maka yang menjadi syahid adalah bahwa Aisyah berkata, “fakhorojna wa qod syaqoqna bikhumurihinna wa satarna ru`uusahunna wa ajsaadahunna ka`annahunnal ghirbaan” (maka mereka langsung keluar dan mereka telah menyobek kain-kain mereka untuk kemudian menutupi kepala-kepala dan tubuh-tubuh mereka, seakan-akan mereka itu seperti burung gagak). Apakah kalian tahu burung gagak itu warnanya apa? Merah atau biru? Tentu warnanya hitam. Maka termasuk di antara sunnah para Sohabiyyat dalam berhijab adalah mengenakan pakaian hitam. Mengenakan pakaian hitam.
Demikian pula disebutkan di dalam banyak hadis, di antaranya:
Hadis Aisyah dalam Ash-Shahihain juga, dalam kisah “al ifk”. Di dalam riwayat itu disebutkan bahwa hijab beliau juga berwarna hitam. Dan semisal riwayat tersebut, telah datang pula riwayat dari hadis Asma` rodhiyallaahu ta’ala ‘anha dan riwayat-riwayat lain yang sedemikian banyak. Maka ini semua menunjukkan bahwa hijabnya wanita-wanita sahabat, adalah berwarna hitam. Dan kita mengatakan bahwa Al Kitab dan As Sunnah harus dipahami dengan pemahaman siapa? Dengan pemahaman salaful ummah, dan dengan penerapan salaful ummah. Dan ini termasuk di antara penerapan salaful ummah. Bahwa mereka dulu mengenakan hijab dengan warna hitam.
Kemudian di sini juga ada hikmah lain yang lathifah (ringkas tapi penting), yaitu bahwa warna hitam lebih menjauhkan seseorang dari menghias dirinya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang bersemangat untuk memilih hijab dengan warna hitam dan bukan warna yang lainnya.
Syarat-Syarat Hijab yang Syar’i
Dan di antara syarat-syarat hijab, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, bahwa hijab itu memiliki delapan persyaratan. Hijab seorang wanita muslimah itu tidaklah menjadi hijab yang syar’iy, sempurna, sampai memenuhi delapan syarat ini.
Syarat yang pertama, bahwa pakaian tersebut menutupi seluruh tubuhnya. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ..الأية
Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suaminya demikian pula kepada ayah-ayahnya dan kepada ayah-ayah dari suami-suami mereka (Q.S.24-31).
Demikian pula disebutkan dalam hadis Asma, dan yang semakna dengannya adalah hadis Asma, dan juga terdapat pada hadis Ibnu Mas’ud rodhiyallaahuta’aalaa ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lain, bersabda Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam:
المرأة عورة فإذا خرجت اشتشرفها الشيطان
“Wanita itu adalah aurat. Maka apabila ia keluar,syaithon akan membuatnya indah”.
Yaitu syaithon menjadikannya indah, dan membuat para lelaki terfitnah dengannya, serta membuat wanita itu terfitnah oleh para lelaki.
Kemudian syarat yang kedua, bahwa pakaian itu sendiri bukanlah sebuah perhiasan. Karena itu bertentangan dengan makna hijab. Oleh karena itu tidak sepantasnya bagi seorang wanita untuk mengenakan hijab yang justru menimbulkan fitnah. Seperti kalau hijab itu diberi pernak-pernik dan hiasan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian wanita karena kejahilan mereka. Dan hal ini juga karena sikap bermudah-mudahan –disayangkan sekali– dalam mengenakan sebagian jilbab yang diberi hiasan. Jilbab yang diberi hiasan, dibordir dengan perak atau dengan warna perak atau dengan warna emas dan sebagainya. Begitu juga dengan warna-warna. Apabila pada hijab tersebut terdapat banyak warna maka yang demikian itu mengandung makna hiasan. Dan kalian telah mendengar dalam ayat tadi, Allah berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ..الأية
Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suaminya demikian pula kepada ayah-ayahnya dan kepada ayah-ayah dari suami-suami mereka (Q.S.24-31).
Kemudian syarat yang ketiga dan keempat, hendaknya pakaian tersebut tidak sempit dan tidak pula tipis. Tidak sempit sehingga membentuk lekukan tubuh karenya. Dan tidak tipis sehingga menampakkan apa yang di balik pakaian tersebut karenanya dan karena dia tembus pandang. Dua syarat ini ditunjukkan oleh hadis Abu Hurairoh rodhiyallaahu’anhu di dalam Ash Shahih. Nabi shollallaahu’alayhiwasallam telah mengabarkan:
صنفان من أهل النار لم أرهما
“Ada dua golongan ahli neraka yang belum pernah aku lihat”.
Dan beliau menyebutkan dari dua kelompok itu:
و نساء كاسيات عاريات مائلات مميلات رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة لا يدخلون الجنة و لا يجدن ريحها و إن ريحها لتوجد من مسيرة كذا و كذا
“Para wanita yang berpakaian tapi mereka telanjang. Dan mereka berjalan dengan melenggak-lenggok dan mereka berjalan dengan menimbulkan fitnah dengan melenggak-lenggok. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring. Mereka tidak masuk ke dalam surga. Dan mereka tidak mencium baunya. Dan sungguh bau surga itu bisa tercium dari jarak demikian dan demikian”.
Ibnu Abdil Barr rohimahullaahuta’aalaa ketika beliau menjelaskan hadis ini maka beliau mengatakan:
و لا تكون المرأة كاسية و عارية –أي في نفس الوقت– إلا أن يكون كسائها ضيقا أو رقيقا
“Tidaklah wanita itu disifati dengan berpakaian dan telanjang –yaitu pada saat bersamaan–, melainkan apabila pakaian yang dia kenakan itu sempit atau tipis.”. Dan benarlah apa yang beliau katakan, semoga Allah merahmati beliau.
Demikain pula disebutkan di dalam Ash Shohih dari hadis Usamah rodhiyallaahu ta’aala ‘anhu bahwa Nabi shollallaahu ‘alayhi wa aalihi wasallam pernah memberi Usamah hadiah berupa pakaian qibthiy. Kemudian setelah beberapa waktu Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bertanya kepada Usamah tentang pakaian tersebut. Usamah berkata: “Aku telah menghadiahkan pakaian tersebut kepada istriku wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bersabda: “Perintahkan kepada istrimu hendaknya dia mengenakan di dalamnya “ghilaalah”. Karena aku khawatir pakaian itu akan menampakkan tulang tubuhnya”. Pakaian Qibthiy itu termasuk pakaian penduduk Mesir yang menyerupai pakaian beludru. Kalian tahu beludru? Jenis kain yang jatuh di badan. Maka ketika Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam mengetahui bahwa Usamah memberikan pakaian itu kepada istrinya, beliau menyuruh Usamah untuk menyuruh istrinya mengenakan “ghilaalah” di bawah pakaian qibthiy tersebut. “Al ghilaalah” adalah pakaian kasar yang membuat pakaian halus tidak jatuh di badan. Seperti sebagian pakaian untuk anak kecil perempuan, yang dipakai di bagian bawah, jenis kain yang membuat pakaian mengembang. Kain yang seperti ini disebut “ghilaalah”. Sehingga dengan kain ini, pakaian di atasnya tidak menempel dengan badan. Dan ini menunjukkan bahwa makna ini memang dikehendaki dalam hijab seorang wanita muslimah. Yaitu dia tidak mengenakan pakaian yang sempit. Dan tidak mengenakan jenis kain yang jatuh di badan di hadapan para pria non-mahrom. Kalau di hadapan suaminya tentu boleh. Adapun di hadapan pria non-mahrom, maka tidak diperbolehkan.
Kemudian syarat yang kelima, hendaknya hijab tersebut tidak diberi minyak wangi atau harum-haruman (bukhur). Disebutkan di dalam hadis Zaenab Ats Tsaqofiyyah, dan makna hadis tersebut juga terdapat di dalam hadis Abu Hurairah rodhiyallaahuta’aala ‘anhum, bersabda Rasulullah shollallaahu’alayhi wa aalihi wasallam –tentang wanita ketika ia ingin melakukan sholat– hendaknya ia tidak menggunakan wewangian. Dalam hadis Abu Hurairah, kalau wanita itu sengaja melakukannya dan ingin supaya para pria mencium bau harumnya, maka wanita itu adalah pezina.
أيما امرأة مست طيبا ليجد الرجال ريحها فهي زانية
“Siapa saja wanita yang memakai wewangian dengan tujuan agar para pria mencium bau harumnya, maka dia adalah pezina”
Demikian Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam bersabda. Dan di dalam hadis yang lain, yaitu di dalam hadis Zaenab Ats Tsaqofiyyah:
أيما امرأة أرادت العشاء فلا تمسن طيبأ
“Siapa saja wanita yang hendak menghadiri sholat Isya maka tidak diperbolehkan baginya menyentuh wangi-wangian”.
Hadis ini menunjukkan faidah bahwa memakai wewangian bagi wanita non-mahrom ketika hendak keluar rumah itu tidak boleh. Dan kalau dia memakainya –dan ini adalah faidah kedua– dan kalau dia memakainya dengan tujuan agar para lelaki mencium bau harumnya sehingga dengan begitu ia membuat mereka terfitnah maka ia adalah wanita pezina. Karena ia telah melakukan sebab-sebab zina. Dan disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas, bahwa Nabi shollallaahu’alayhi wa aalihi wasallam mengatakan
كتب على ابن أدم حظه من الزنى يدرك ذلك لا محالة
“Telah ditetapkan atas setiap anak Adam bahagiannya dari zina. Dia pasti mendapatkan itu dan tidak bisa menghindar darinya”.
Mata itu berzina dan zinanya adalah dengan melihat. Telinga itu pun berzina dan zinanya adalah dengan mendengar. Lisan juga berzina dan zinanya adalah dengan berbicara. Tangan pun berzina dan zinanya adalah dengan memegang. Maka dengan ini engkau mengetahui bahwa zina itu tidak terbatas pada zina kemaluan saja.
Demikian pula yang termasuk dalam syarat hijab adalah pakaian tersebut tidak boleh menyerupai pakaiannya wanita-wanita kafir atau wanita-wanita fajir (fasik). Tidak boleh bagi wanita muslimah untuk mengenakan pakaian yang merupakan pakaian khas wanita-wanita kafir atau fajir. Ini tidak boleh. Allah subhanahu wa ta’aala berfirman di dalam Al Quran Al Karim:
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Barangsiapa di antara kalian yang berloyal kepada mereka maka sesungguhnya orang itu termasuk dari golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS.5:51).
Dan termasuk di antara sikap berloyal kepada orang kafir sebagai pemimpin adalah sikap menyerupai mereka.
Allah subhanahu wa ta’aala juga berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُواْ إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu di sentuh oleh api neraka..” (Q.S.11:113)
Dan termasuk di antara sikap cenderung kepada orang-orang yang zholim adalah sikap menyerupai mereka. Dan di dalam hadis Nabi shollallaahu’alayhi wa ‘ala aalihi wasallam, di mana beliau bersabda:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kalangan mereka” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya dari hadis Abdullah bin Umar rodhiyallaahu ta’aalaa ‘anhuma dengan sanad yang shahih).
Demikian juga yang termasuk syarat-syarat hijab adalah hendaknya pakaian tersebut tidak menyerupai pakaian laki-laki. Maka tidak boleh bagi seorang wanita untuk mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki. Sebagaimana juga tidak boleh bagi laki-laki untuk mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian perempuan. Dan makna ini disebutkan di dalam hadis Ibnu Abbas, hadis Abu Hurairah, dan hadis Aisyah, di mana Rasulullah shollallaahu’alayhi wa’alaa aalihi wasallam telah melaknat para wanita yang menyerupai laki-laki. Dan beliau juga telah melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki, demikian juga laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan. Dan Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita. Maka hadis-hadis ini menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki meskipun pakaian tersebut menutupi tubuhnya. Seperti kalau di sana ada jenis pakaian yang khusus dikenakan oleh lelaki, kemudian ada seorang wanita yang hendak berhijab denganya, yang demikian tidak diperbolehkan karena pakaian tersebut khas untuk lak-laki.
Kemudian syarat yang terakhir, di antara syarat-syarat hijab seorang muslimah, hendaknya pakaian tersebut bukan termasuk pakaian syuhroh. Bukan termasuk pakaian kemasyhuran. Dan yang dimaksud dengan pakaian kemasyhuran adalah pakaian yang mendorong seseorang untuk terfitnah. Yang menyebabkan seseorang itu terfitnah, bagi yang memakainya. Di mana pakaian tersebut menarik perhatian orang. Sehingga bisa jadi wanita yang memakai pakaian kemasyhuran tersebut mendapatkan gangguan, atau menyebabkan dia terfitnah dari berbagai aspek dengan sebab memakai pakaian kemasyhuran tersebut. Yaitu pakaian tersebut memiliki perbedaan yang terlalu mencolok sehingga bisa menimbulkan fitnah.
Dan yang terakhir ini, saya ingin memberikan peringatan tentangnya karena sebahagian ikhwah dan akhwat, mereka diuji dengan masyarakat yang tidak terbiasa dengan hijab, khususnya yang berwarna hitam. Sehingga kemudian dia menjauhi hijab berwarna hitam dengan beralih kepada hijab yang berwarna dikarenakan mungkin hal itu akan menimbulkan konflik dengan masyarakat. Maka di sini kita mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’aala lebih menyayangi kita daripada diri kita sendiri. Dan para ahlul ilmi telah berbicara tentang permasalahan-permasalahan seperti ini. Apabila di sana memang ada fitnah yang betul-betul terjadi, sehingga seorang wanita sama sekali tidak mungkin mengenakan hijab, di sini berarti memang syiar-syiar Allah tidak ditegakkan. Maka ketika itu yang harus dilakukan oleh seorang muslim dan muslimah untuk berhijrah dari negeri itu ke negeri lain yang di situ ditegakkan syiar-syiar Allah. Dan kalau mungkin hijab itu dikenakan, hanya saja perbuatan mengenakan hijab ini dengan sifat tertentu yang tidak bertentangan dengan syari’at, sekalipun di dalamnya terdapat pengabaian terhadap sebagian hal yang lebih sempurna dan lebih utama, maka dikatakan bahwa kalau memang ini benar, dan merupakan kenyataan yang betul-betul terjadi bukan cuma khayalan, maka meminimalisasi keburukan itu merupakan suatu tuntunan yang syar’iy. Dan mengerjakan perbuatan yang lebih ringan mudhorotnya untuk mencegah mudhorot yang lebih besar adalah dibolehkan dalam syari’at. Dan Allah lebih mengetahui orang yang jujur dan orang yang berdusta. Karena sebagian orang kadang-kadang mengklaim bahwa dia khawatir mendapatkan mudhorot yang besar. Padahal sesungguhnya klaim itu hanya khayalan saja. Dan pada kenyataannya,persangkaannya itu tidak sungguh-sungguh ada. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengambil keringanan yang tidak disertai dengan izin untuk keringanan tersebut. Akan tetapi kalau mafsadat itu benar-benar ada, maka di sini tidak diragukan lagi bahwa mengambil mafsadat yang lebih ringan untuk menghindari mafsadat yang lebih besar itu diizinkan di dalam syari’at. Dan bersamaan dengan itu dikatakan untuk orang seperti ini: pindahlah ke negri lain, ke saudara-saudaramu yang muslim yang dengan bersama mereka engkau bisa menyembah Rabbmu sesuai dengan apa yang Ia cintai dan Ia ridhoi. Maka dengan ini menjadi jelaslah jawaban atas pertanyaan tersebut dengan berbagai sisi dan keadaannya. Wallaahu ta’alaa a’lam.
(ditanyakan pada safari dakwah ulama ahlussunnah, Balikpapan Selasa tanggal 02 Rabi’ul Awal 1431 H)
Majalah AKHWAT Edisi Perdana (Vol.1/2010/1431)

* PERHATIAN!
MAJALAH INI SUDAH TIDAK DIREKOMENDASIKAN, BAGI YANG MENGHARGAI MANHAJ MAKA TIDAK MEMBACA MAJALAH INI. SILAKAN BACA MAJALAH AHLUSSUNNAH : ASSYARIAH, TASHFIYAH, QUDWAH, QONITAH, DLL. (Dulu ketika memposting artikel ini kondisinya masih syubhat). Wallahu a'lam, kita memohon hidayah dan taufik dari Allah.
read more - Bolehkah Hijab dan Cadar Berwarna Cerah?