Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahlan wa sahlan di dunia 'Baru Belajar'
love

Wednesday, December 28, 2011

Hati-hatilah terhadap Dunia



Bismillah,
Alhamdulillah, sudah sepatutnya kita bersyukur karena Allah telah melimpahkan kenikmatan yang mungkin tidak bisa dirasakan oleh kebanyakan kaum muslimin yaitu berupa anugerah menuntut ‘ilmu tentang agama Allah. Ingatlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dikeluarkan oleh Al Imam Bukhari dan Muslim dari hadist Mu’awiyah bin Abi Sufyan “Barangsiapa yang diinginkan oleh Allah kebaikan atasnya, maka Allah akan pahamkan ia tentang agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mahfum dari hadist ini bahwa barangsiapa yang tidak diinginkan oleh Allah kebaikan atasnya, maka dia tidak akan dipahamkan oleh Allah atasnya agamanya. Jadi, kita tidak bisa bersantai ria, tenang-tenang saja ketika kita tidak memahami tentang agama Allah. Kalau kita masih punya iman kepada Allah semestinya muncul di dalam hati kita kekhawatiran kenapa kita sampai tidak paham tentang agama Allah ini. Apakah semua ini menunjukkan bahwa Allah menginginkan kepada kita keburukan? Oleh karena itu, ketika Allah memberikan kita kesempatan untuk menuntut ‘ilmu dan yang lebih penting daripada itu Allah membukakan hati kita sehingga kita mau meluangkan waktu untuk menuntut agama Allah, ini sudah merupakan anugerah besar dari Allah. Kita berharap semoga Allah melanggengkan kepada kita kenikmatan yang besar ini. Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah untuk tetap istiqomah dalam mempelajari, memahami, meng’amalkan, dan mendakwahkan agama Allah. 

Barangsiapa yang diinginkan Allah kebaikan, pasti Allah pahamkan ia tentang agamanya. Barangsiapa yang memahami agama Allah, maka pintu kebaikan ada di hadapannya. Barangsiapa yang dimudahkan oleh Allah untuk menempuh jalan menuntut ‘ilmu, maka Allah telah memudahkan untuknya jalan menuju surga. Di sini bahwa orang yang menuntut agama Allah tidak akan sia-sia. Apakah jalan yang dia tempuh itu adalah jalan yang hissi yaitu ia keluar dari rumah kemudian naik kendaraan, atau berjalan kaki sampai ke majelis ‘ilmu, ini terhitung sebagai orang yang menempuh jalan ‘ilmu. Demikian pula ketika ia membuka buku, mencatat pelajaran, memahami ‘ilmu-‘ilmu yang disampaikan tentang agama Allah ini, maka itu adalah menempuh jalan ‘ilmu. Dengan demikian, patut kalau ia termasuk dari sabda Rasulullah “Allah mudahkan baginya jalan menuju surga”. merupakan hal yang bathil apabila ada yang menyatakan bahwa surga dapat didapat tanpa ‘ilmu. Dengan apa ia dapat mencapai surga Allah tanpa ’ilmu sementara Allah telah menjadikan jalan menuju surga ini jalan ‘ilmu? Oleh karena itu, surga tidak bisa dicapai tanpa ‘ilmu. Agama ini tidak dibangun di atas duga-duga, sangka-sangka, angan-angan tetapi dengan ‘ilmu yaitu ‘ilmu yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman salafus shalih. Hal-hal yang demikian ini perlu kita ulang, kita ingat-ingat, supaya kita dalam menutut ‘ilmu tidak hambar, bukan hanya sekedar rutinitas, tetapi ada tujuan dan misi yang kita emban yaitu kita ingin sampai ke surga Allah. 

Langkah kita adalah menempuh jalan ‘ilmu. Dengan kita memahami ajaran agama Allah, kita bisa mengamalkan sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah kemudian kita bisa menyampaikannya kepada orang lain. Ini tahapan-tahapannya, kalau sudah punya ‘ilmu, maka amalkan karena ‘ilmu tanpa amal tidak bermanfaat. ‘Ilmu tanpa ‘amal seperti pohon tanpa buah. “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa engkau mengucapkan apa yang tidak kau perbuat? Allah sangat murka apabila kalian mengucapkan apa yang tidak kalian perbuat.” Demikian pula firman Allah “Apakah kalian mengajak manusia kepada yang baik dan melarang kepada yang mungkar, dan kalian melupakan diri-diri kalian sendiri padahal kalian membaca kitab. Apakah kalian tidak berpikir?”
Tahapan setelah ‘amal adalah mendakwahkannya. Jangan membayangkan bahwa menyampaikan agama ini hanya tugas para ulama, suyuth, masyaikh, du’at, asatidzah, para mubalighin, melainkan tugas mengajak kepada agama ini ada di atas pundak kita masing-masing sesuai kemampuannya/kapasitasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sampaikan daripadaku walau satu ayat.” (HR Bukhari dan Muslim). Walaupun hanya satu ayat, tetapi sangat bermanfaat bagi dakwah Islam. Ini adalah semangat beragama yang harus kita pupuk di tengah-tengah kaum muslimin. 

Al ‘ilmu wal amal wa dakwah ilallah. Tidak ada yang lebih mulia daripada ketiga kedudukan ini. Allah berfirman ”Siapakah yang lebih baik ucapannya dari orang yang mengajak kepada jalan Allah dan ber’amal dengan ‘amalan yang baik dan ia berkata sesungguhanya aku termasuk dari orang-orang Islam.” Inti dari islam adalah kita menundukkan diri, menghambakan diri, merendahkan diri kepada Dzat yang telah menciptakan kita. Sebagaimana kita tahu bahwa yang telah menciptakan kita adalah Allah. Alah menciptakan kita sebagai hamba yang selalu mengibadahi Allah. “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyaat: 56) Kita jangan lupa bahwa amanah atau tugas yang kita di atas muka bumi ini adalah untuk beribadah kepada Allah, menundukkan diri, menghambakan diri, merendahkan diri di hadapan Allah. Tidak boleh kita menghambakan diri kecuali menjadi hamba Allah saja. Semua kehidupan dan kematian kita adalah milik Allah, tidak ada yang selain-Nya. Ini adalah prinsip dari Islam yaitu tauhid. Allah mengajarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui firman-Nya “Katakan wahai Nabi, sesungguhnya shalatku dan sembelihanku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Rabb semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya. Yang demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama kali memfatwakannya.” 

Kita bukan hamba siapa-siapa, kita adalah hamba Allah yang semestinya kita menyerahkan kehidupan, kematian dan segala yang ada pada kita hanya untuk Allah. Kalau sampai kita dipalingkan oleh kehidupan-kehidupan dunia ini dari predikat kita sebagai hamba Allah berarti kita telah melenceng dari tujuan Allah menciptakan kita. Dan tidak akan bahagia orang yang tidak menghambakan diri kepada Allah, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendo’akan kecelakaan kepada orang-orang yang menjadi penghamba dunia, pengidola dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Celaka para hamba dinar, celaka para hamba dirham, celaka para hamba pakaian sutera dan pakaian beludru, celaka dia dan terbalik dia, kalau dia tertusuk duri, maka tidak akan ada yang bisa mencungkilnya“. Artinya siapa yang mengharapkan keselamatan kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang mendoakan kecelakaan baginya. Para penghamba dan budak dunia tidak akan selamat di dunia dan akhirat anti. Jangan kita kira bahwa dunia ini akan mendatangkan kesenangan dan kemuliaan hidup, justru sebaliknya kalau kita bisa sedikit mengambil pelajaran dari orang yang terjungkal di dalam meraih kehidupan dunia ini, kita akan tahu betapa nestapanya nasib para penghamba dunia. Mungkin mereka punya jabatn, harta, tetapi jangan kira hidup mereka bahagia. Kita yakin bahwa orang yang berpaling dari Allah sudah pasti tidak akan memperoleh kebahagiaan sebab Rasul yang mendoakan kecelakaan bagi orang-orang seperti itu. 

Lain halnya dengan orang yang mempelajari ‘ilmu agama. Allah berfirman “Bukankah dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tenang?”. Dzikir kepada Allah, mengingat Allah, mempelajari agama Allah mengamalkannya, ini adalah kebahagiaan hidup. Orang yang merasakan manisnya kenikmatan iman tidak akan mengganti kemuliaan yang dicurahkan Allah ini dengan yang selainnya.

Kebahagiaan yang didapat dari mempelajari ‘ilmu agama, mendakwahkannya, tidak sebanding dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang ditawarkan dari dunia. Rasul menggabarkan kenestapaan orang-orang yang menjadi penghamba dunia. “Barangsiapa yang keinginannya, perhatiannnya adalah dunia, orientasi hidupnya adalah dunia, Allah jadikan kefaqirannya ada di hadapan matanya.” Bisa jadi dia punya harta, kedudukan, jabatan, dll tetapi Allah menjadikan kefaqirannya ada di hadapannya, itu semua tidak memuaskannya. Ia terus dihantui oleh kepenatan-kepenatan dunia, keserakahan-keserakahan dunia, berbagai kesibukan-kesibukan dunia sehingga dengan ia memilki harta bertambah pula kesibukannya, kepenatannya, sebagai konsekuensi dari kesibukan, bertambah pula stresnya, kebutuhanannya, tuntutannya. Terus seperti itu, sampai-sampai banyak di antara mereka yang tidak merasakan harta yang ia miliki. Orang yang tidak punya harta, sebagai contoh jika kita suguhi makan dengan nasi yang hangat lauk tempe, kecap, sambal terasi, makannya bisa 2 atau 3 piring, sementara orang kaya yang katanya makan paginya di Jakarta, makan siangnya di Singapura, kemudian makan malamnya di Amerika tidak bisa merasakan kenikmatan yang dirasakan oleh si miskin. Ini adalah karunia yang tidak bisa dihitung dengan rupiah atau dollar, ini merupakan kenikmatan yang luar biasa yang Allah berikan hanya kepada hamba-hamba yang dirahmati Allah. Ini menunjukkan dunia bukan segala-galanya. Allah jadikan kefakiranya ada di hadapannya, ia pun merasa butuh, merasa kurang, rakus, membuktikan bahwa ia adalah orang yang faqir. Apa itu faqir? Adalah orang yang butuh pada sesuatu. Orang yang seperti ini tidak pernah merasa puas. Hartanya melimpah, usahanya besar, tetapi belum tentu ia adalah orang yang mempunyai kecukupan. Ia terus dihantui oleh perasaan kurang dan kurang. 

Orang yang menjadi penghamba dunia, Allah jadikan kefakirannya ada di hadapannya. Kemudian Allah akan cerai-beraikan perhatiannya. Orang ini akan disibukkan dengan berbagai kepenatan, agenda-agenda padat sehingga tidak punya waktu untuk istirahat melepaskan letihnya, apalagi yang bersemboyan waktu adalah uang, mulai dari ia membuka mata sampai ia menutup mata dia hanya sibuk dengan dunia. Itupun kalau ketika ia harus menutup mata, ia harus mau pula mengorbankan istirahatnya demi mengejar dunia. Kalau dahulu Imam Al Bukhari bisa bangun 20 kali dalam semalam dalam rangka ‘ilmu untuk mencatatkan hadist yang telah beliau cari, sementara ashabuddunia bisa lebih 20 kali untuk mengangkat telepon, hubungan bisnis. Celaka orang-orang seperti ini, padahal harta yang ia kumpulkan apakah bisa ia habiskan sendiri? Yang ia bawa hanya kain kafan yang harganya mungkin tidak seberapa. 

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang kepentingannya, perhatiannya, orientasi hidupunya adalah akhirat, Allah jadikan kekayaannya berada di dalam hatinya.” Kekayaannya bukan berupa kekayaan harta melainkan kekayaan hati berupa puas, ketenangan dan merasa cukup atas apa yang diberikan Allah kepadanya. Ini nikmat yang tidak bisa dibandingkan dengan dunia dan seisinya. Jika kekayaan seseorang ada di dalam hatinya, ia tidak akan merasa kurang walaupun apa yang diberikan oleh Allah adalah sedikit. Ia bisa makan dengan enak, tidur dengan nyenyak, bisa tetap mempelajari ‘ilmu tentang agama Allah, mengamalkannya, mendakwahkannya. Walaupun kehidupannya sederhana, bersahaja, tetapi ia adalah orang yang bahagia tidak seperti kehidupan ashabuddunia. Ini merupakan karunia dari Allah. Belum lagi kebaikan-kebaikan lainnya, dengan adanya sikap zuhud, sabar sehingga ia merasa bahagia dalam hidupnya, tidak merasa suntuk.
Biarlah mereka sibuk mengejar dunia , kita akan mengejar akhirat. Kalau dia tambah maju usahanya kalau kami akan tambah maju ‘ilmunya. Kalau dia membuka cabang perusahaan baru, maka saya akan membuka kitab baru.”
Jangan sampai kita terpancing berlomba pd perkara dunia untuk sesuatu yang berakhir dengan penyesalan. Allah berfirman, “Apa yang ada di sisi kalian akan binasa semuanya, dan apa yang di sisi Allah adalah kekal selamanya”. Kalau kita mau berpikir dengan pemikiran seseorang yang agamis, jangan sampai kita berlomba di dalam perkara dunia dengan perkara dunia yang lain karena ini adalah kerugian. Apabila kita melihat ashabuddunia berlomba dengann perkara dunia, maka kita berlomba dengan akhirat dengan kebaikan yang dibukakan oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berlombalah kalian memperbuat amalan-amalan untuk mengalahkan berbagai fitnah termasuk fitnah dunia yang fitnah ini datangnya seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Seorang di pagi hari dalam keadaan mukmin tetapi di sore harinya ia telah kafir.” Ini adalah fitnah yang akan datang dan menimpa kita apabila kita tidak berhati-hati terhadap fitnah tersebut. Orang yang seperti ini adalah orang yang menjual agama hanya untuk kesenangan dunia yang sedikit. Ia korbankan agamanya demi kepentingan dunia sehingga di pagi hari ia mukmin, di sore hari telah kafir. Jual beli agama hanya untuk kesenangan dunia yang sedikit. Mereka itulah orang-orang yang telah membeli kesesatan dengann harga petunjuk. Perdagangan mereka tidak akan beruntung dan mereka tidak akan memperoleh petunjuk. 

Jangan sampai karena kesenangan dunia kemudian kita melalaikan agama kita. Jangan sampai karena gemerlap dunia kemudian kita tinggalkan agama kita. Ini adalah prinsip yang harus kita pahami terutama orang yang hidup di kota-kota besar terutama di ibu kota, tuntutan untuk masalah dunia ini lebih besar dibandingkan orang yang hidup di kota-kota lain misalnya Jogja, Kebumen, atau kota kecil lainnya (he, kotaku disebut). Maka jangan sampai kita terlalaikan dengan kehidupan dunia dibandingkan kita berlomba untuk sampai kepada Allah. Dunia ini fana, tidak ada apa-apanya sebagaimana dalam Shahih Al Bukhari, “Allah memiliki 100 rahmat dan Allah hanya menurunkan satu rahmat saja ke muka bumi sedangkan 99 rahmat lainnya disimpan Allah untuk akhirat.” Tidak ada apa-apanya dunia ini kalau kita bandingkan dengan surga yang digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan surga itu kesenangannya tidak pernah dipandang oleh mata, tidak pernah didengar oleh manusia, tidak pernah terbetik sedikitpun di dalam hati manusia. (Mutafaqqun ‘alaih)

Mau kita ganti dengan dunia yang seperti ini? Ini adalah jual beli yang sangat rugi maka jangan sampai kehidupan dunia kita mengalahkan atas akhirat. 

Jika ada yang berkata,“Saya ingin mengumpulkan antara dunia dan akhirat.” Boleh saja, Alhamdulilllah, tetapi kebanyakan orang yang mencoba mengumpulkan keduanya, yang terkumpul adalah dunianya sementara akhiratnya hilang.
Nanti kalau saya sudah menjadi usahawan, bisnisman, eksekutif muda saya akan berinfaq, rajin ngaji, dll.” Dengan rencana-rencana yang menumpuk, coba saja. “Semoga Allah merahmati seseorang yang tahu akan kadar dirinya.” Kita tidak perlu muluk-muluk, kerjakan apa yang ada di depan kita, bukan berarti kita meninggalkan dunia. Kita harus mencari kehidupan kita, mengejar dunia kita sesuai apa yang dimudahkan oleh Allah tetapi yang paling penting yang menjadi orientasi hidup kita adalah kehidupan akhirat.  
Sanggupkah kita seandainya kepentingan dunia kita berbenturan dengann kepentingan akhirat kemudian kita mendahulukan akhiratnya? Sebagai contoh sekarang ini jadwal ngaji tetapi pada jam yang sama ada orang yang menginginkan barang kita. Mana yang didahulukan? Banyak dari kita mengorbankan jadwal kajian hanya untuk kepentingan urusan dunia.  

Kita butuh untuk selalu mengingat bahwa kita adalah hamba Allah. Kita diciptakan bukan untuk kepentingan-kepentingan dunia. Allah menciptakan kita untuk mengibadahi Allah. “Sungguh Kami telah mempersiapkan bagi neraka jahannam kebanyakan manusia dan jin, mereka mempunyai hati-hati tetapi tidak bisa memahami dengannnya kebenaran (agama Allah), mereka punya pendengaran tetapi tidak mendengarkan dengannya agama Allah, mereka punya pandangan-pandangan tetapi mereka tidak melihat dengannya agama Allah. Mereka itu seperti binatang ternak bahkan lebih sesat daripada binatang. Mereka adalah orang-orang yang rusak/lalai/lengah.” Maka jangan sampai kehidupan dunia kita mengalahkan akhirat. Tetap kita bekerja tetapi berprinsip bukan semata-mata untuk urusan dunia tetapi sebagai sarana/fasilitas yang akan mengantarkan kita sebagai hamba Allah. Jangan kita jadikan dunia sebagai tujuan dan akhirat sebagai sarana tetapi jadikan akhirat sebagai tujuan sementara dunia sebagai sarana. 

Dari Abi Sa’id Al Khudriiy bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukan kefakiran yang aku khawatirkn atas kalian, tetapi yang aku khawatirkan adalah dibentangkan dunia atas kalian kemudian kalian berlomba-lomba mencari dunia sebagaimana orang-orang sebelum kalian berlomba-lomba mencari dunia, maka dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dunia itu membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Imam Bukhari). Jadi, kefakiran itu bukanlah problem, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khawatirkan adalah jika kita kaya. Kefakiran biasanya akan menjadikan seseorang mengingat Allah sedangkan kekayaan akan melalaikan dari agama Allah. Orang yang kaya kebanyakan akan menjadi sombong bahkan seakan-akan tidak ada Rabb di atasnya. Qarun berkata “Tidaklah aku diberikan harta ini tetapi karena pengetahuan yang ada padaku.” 

Bukan kemiskinan yang menjadi masalah melainkan yang menjadi masalah adalah lunturnya perhatian terhadap agama kita, bahkan ada yang merasa malu jika berpegang teguh pada agama Allah. Sebagai contoh kecil yaitu jika seseorang ditanya “Belajar dimana?”, maka ia akan menjawab dengan bangga jika ia sekolah di luar negeri (misal Jerman, Inggris, dll), tetapi ia akan menjawab dengan malu-malu jika “Saya mondok.” Ini menunjukkan seseorang yang tidak punya mental agama yang baik. 

Urusan-urusan dunia adalah fana dan akan berujung pada kesengsaraan. Ibnul Qoyyim dalam Ighasatul lahaban berkata tentang kesengsaraan ashabuddunia, yaitu: 1) keletihan dan kecapaian yang pasti, 2) kegundah-gulanaan yang terus-menerus, tamak, tidak merasa cukup, selalu kurang, 3) penyesalan yang tiada henti, menyesal baik ketika berhasil maupun ketika gagal. 

Jangan sampai kita berputar-putar dalam lingkaran syaithan yaitu sibuk dengan urusan dunia dan meninggalkan agama. Di hadapan kita ada kehidupan yang mulia di mata manusia dan mulia di sisi Allah yaitu menuntut ‘ilmu agama. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. 

Allahu a’lam bish showwab.

Sumber: rekaman ta'lim berjudul Hati-hatilah terhadap dunia oleh Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidaniy.

NB: 14 November 2014, tulisan ini diposting saat masih syubhat (2011), namun sekarang sudah jelas posisi beliau dimana dan sudah jelas pula bagaimana kita harus menyikapinya. Bentengi diri kita dari syubhat MLM. Waffaqanallah.

read more - Hati-hatilah terhadap Dunia

Pentingnya Pendidikan Anak Sejak Dini



Bismillah,
 

 "Apa tujuan Allah menciptakan manusia?”

Seorang anak perempuan kelas 3 (Aisyah, 8 tahun) mengacungkan tangan kemudian menjawab, “Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.”
Apa dalilnya?”
Anak yang sama (Aisyah) menjawab: (melafadzkan QS Adz Dzaariyat: 56)

Begitu pula ketika diajukan pertanyaan yang lain antara lain: dalil kewajiban manusia di bumi, dalil tauhid rububiyah Allah, adab dalam majelis, adab makan, adab tidur, pembatal-pembatal wudhu, pembatal shalat, dll. Aisyah dan teman-temannya (Icha, Zalfa, Sabila, Nasmah, Asma’, Rahil, Hasanah, Zahroh, dll) bisa menjawabnya walaupun dengan agak malu-malu. 
 
Pada hari yang lain ketika tengah mengerjakan soal-soal di kelas, salah satu di antara mereka berkata, “Minta tolong saja ke .... (qaddarallah, saya tidak begitu jelas menangkap apa yang dikatakan), tetapi kemudian anak satunya menimpali, “Gak boleh, itu kan syirik kepada Allah.” Masyaa Allah, anak sekecil itu saja tahu kalau meminta pertolongan, maka mintalah kepada Allah.

Jika diperhatikan lebih jauh, sungguh begitu baik akhlaq mereka. Seorang anak perempuan kelas TA banat (berumur sekitar 4-5 tahun) menuangkan air minum dari dispenser kemudian tidak lupa untuk terlebih dahulu duduk sebelum meminumnya. Padahal tidak jarang bahkan banyak kaum dewasa di sekeliling kita (atau mungkin kita sendiri?) yang minum atau makan sambil berdiri bahkan mungkin sambil berjalan. Bahkan berbagai acara ada yang sengaja didesain dalam bentuk standing party sehingga tamu yang hadir makan dan minum dalam posisi berdiri. Allahul musta’an.

Ada yang patut direnungkan lagi bahwa ketika anak-anak putri itu (banat) berada dalam keadaan tidak berjilbab (saat mereka sudah gerah di dalam kelas lalu keluar ke aula), jika kemudian ada anak-anak putra (banin) yang lewat (karena TA banin masih dipegang pengajar putri), mereka pasti akan teriak, “Awas, ada banin!” (kemudian segera mengenakan jilbabnya lagi, atau masuk ke dalam kelas dan mengunci pintu). Padahal banin tersebut masih berumur 4-5 tahun (‘Abid, Muhammad, Ghotfan, Zulfikar, Yahya, Ahmad, dan siswa kelas TA banin yang lain), he. Nah, anak sekecil itu saja sudah punya rasa malu dan tahu kewajiban menutup aurat di hadapan yang bukan mahram sedangkan kaum wanita sekarang ini banyak yang mengumbar auratnya entah karena belum sampai padanya ‘ilmu atau acuh terhadap syariat agama ini. Wal iyya dzubillah.

Bukan itu saja, mereka (banat) yang berumur 7-8 tahun-an sudah hafal 3 juz (juz 28-30) sedangkan untuk banin dengan umur yang sama sudah harus menghafalkan juz 26-30. Ketika menyimak mereka setoran hafalan, masyaa Allah, menambah semangat. Jangan mau kalah dengan anak kecil (he, maksudnya tidak ada kata terlambat bagi yang sudah dewasa/pemuda untuk mulai menambah hafalan Al Qur’an mulai dari sekarang, begitu pun bagi orang tua. Umur bukanlah alasan untuk bermalas-malasan mempelajari Al Qur’an atau menghafalnya.)

Walaupun terkadang di antara mereka (anak-anak itu) ada yang bandel jika disuruh tidur siang, tidak mau makan, dan hampir setiap hari ada saja yang menangis dengan berbagai sebab, misalnya berebut mainan, tidak akur dengan temannya, dsb, tetapi namanya juga anak kecil, he.

Begitulah sedikit gambaran anak-anak yang dididik di bawah naungan sunnah, anak-anak Ibnu Taimiyyah, Sedan, Yogyakarta. Alangkah bahagianya mempunyai anak-anak shalih dan shalihah. Pendidikan anak dimulai dari dalam setiap rumah dan secara khusus merupakan kewajiban kedua orang tua. Orang tua adalah madrasah pertama yang akan menentukan baik-buruknya sang anak, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari no 4775 dan Muslim no 2658, dan yang selain keduanya)
Oleh karena itu, wajib bagi kedua orang tua untuk mendidik anak-anaknya dengan pendidikan Islami dan mengajarkan tentang perkara agama.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS. At Tahriim: 6)
Ajarkanlah anakmu aqidah yang benar, yang bersih dari bid’ah dan khurafat. Ajarkanlah anakmu tentang iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir yang baik ataupun yang buruk. Ajarkanlah Al Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ajarkanlah shalat ketika mereka berumur 7 tahun, ajarkan kepada mereka akhlaq yang baik, bimbinglah anak-anakmu kepada ‘ilmu syar’i yang merupakan seutama-utama perkara yang dapat membantumu untuk mendidiknya dengan tarbiyah islmiyah yang shahih.1
Seorang anak kecil akan lebih mudah menangkap pelajaran yang diberikan, lebih mudah menghafalkan, dan daya serapnya tinggi. Oleh karena itu, pendidikan anak perlu diberikan semenjak dini untuk membentuk pribadi anak yang baik. Ajarkan akhlaq yang mulia kepada anak, lebih utama adalah dengan memberikan teladan di hadapan mereka karena anak suka meniru perilaku orang atau hal-hal di sekitarnya. 
 
Jika kedua orang tua tidak memiliki kemampuan untuk memberikan pendidikan secara intensif kepada anak-anaknya, maka bisa dengan menitipkan ke pengajar khusus misalnya di ma’had atau sekolah islam. Namun, tidak serta-merta berlepas diri dengan pendidikan anak di dalam rumah karena anak merupakan tanggung jawab orang tua. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (Muttafaqun ‘alaih)

Alangkah bahagianya orang yang meninggalkan anak yang shalih karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bila anak Adam telah meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali salah satu dari tiga perkara: sedekah jariyah, ‘ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendo’akan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim no 1631, shahih)
Oleh karena itu, wahai calon orang tua atau calon pengajar/pendidik, perbaikilah dirimu dahulu sebelum segala sesuatu, kebaikan di sisi anak-anakmu adalah apa yang engkau perbuat, dan kejelekan di sisi anak-anakmu adalah apa yang engkau tinggalkan. Baiknya perangai seorang pendidik dan orang tua di hadapan anak-anak merupakan pendidikan yang paling utama bagi mereka.2

1 dikutip dari buku Hukum Khusus Seputar Anak dalam Sunnah yang Suci, penulis Salim bin Ali bin Rasyid Asy Syubli Abu Zur’ah dan Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar Rabah Abu Abdirrahman
2 dikutip dari buku Mendidik Buah Hati Menuju Generasi Robbani, penulis Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu


read more - Pentingnya Pendidikan Anak Sejak Dini

Monday, December 26, 2011

Haramnya laki-laki menyerupai wanita dan haramnya wanita menyerupai laki-laki

Bismillah,

Dari ‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat para laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al Bukhari)
Laknat memiliki dua makna, yakni:
1. bermakna celaan atau cercaan, merupakan laknat dari manusia.
2. diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah, merupakan laknat dari Allah.
Peyerupaan (tasyabbuh) seperti ini termasuk ke dalam perbuatan dosa-dosa besar dikarenakan dosa-dosa besar itu bisa dikaitkan dengan beberapa perkara. Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Al Fatawa berkata, “Setiap dosa yang pelakunya dicap dengan laknat, atau kemurkaan, atau diancam dengan api neraka, maka itu termasuk dosa-dosa besar.”
Berdasarkan besar kecilnya, dosa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. dosa kecil (ash shaghaair)
Pelaku dosa kecil bisa diampunkan tanpa bertaubat yaitu dengan melakukan perbuatan baik. “Sesungguhnya perbuatan baik bisa menghilangkan/menghapuskan perbuatan-perbuatan jelek.”
Dan iringilah kejelekan itu dengan kebaikan karena kebaikan itu bisa menghapus kejelekan.” Kejelekan yang dimaksud di sini adalah dosa-dosa kecil.
2. dosa besar (al kabaair)
Pelaku dosa-dosa besar harus bertaubat agar diampuni dosa-dosanya oleh Allah.
Adapun persyaratan at taubah ada tiga, yaitu:
1. ia meninggalkan dosa tersebut
2. ia menyesal terhadap apa yang telah dilakukan
3. ia bertekad untuk tidak terjerumus ke dalam perbuatan dosa tersebut
Ahlussunnah meyakini bahwa dosa-dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam (yaitu dosa selain syirik), maka di bawah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, maka ia mendapat ampunan Allah tapi jika Allah tidak menghendaki untuk ia diampuni, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka meskipun tidak kekal di dalamnya.

Perbuatan laki-laki menyerupai wanita dan wanita menyerupai laki-laki termasuk dosa-dosa besar sehingga pelakunya harus bertaubat agar mendapat ampunan dari Allah. Penyerupaan yang diharamkan ini meliputi penyerupaan dalam gerak-gerik, pakaian, ataupun suara, serta kekhususan dalam laki-laki. Walaupun wanita meniru suara laki-laki untuk membuat orang tertawa atau untuk menakut-nakuti, maka hukumnya tetap haram, bahkan dalam membaca Al Qur’an tidak boleh mengikuti suara laki-laki.
Apabila seorang wanita meniru suara laki-laki dengan tujuan menakut-nakuti orang lain, maka dosanya lebih besar daripada jika tujuannya untuk membuat orang tertawa karena ia mendapat dua dosa, yaitu dosa tasyabbuh (menyerupai) dan tarwi’ (menakut-nakuti orang lain). Tasyabbuh sudah jelas diharamkan dan tarwi’ juga diharamkan karena segala bentuk perbuatan menakut-nakuti seorang muslim, maka tidak diperbolehkan. “Tidak halal seorang muslim menakut-nakuti seorang muslim yang lain.”

Berkata Ath Thabari dalam Al Fath dalam mensyarh hadist haramnya laki-laki untuk menyerupai wanita dan wanita untuk menyerupai laki-laki. Makna hadist tersebut adalah tidak boleh laki-laki untuk men-tasyabbuh seperti wanita baik pakaian maupun perhiasan-perhiasan yang biasa dipakai wanita., misalnya anting-anting, dsb. Termasuk pula dalam suara dan gaya berjalan.
Adapun bentuk pakaian itu berbeda sesuai dengan 'urf atau kebiasaan masyarakat setempat. Bisa jadi adat berpakaian suatu negeri berbeda dengan adat negeri lain. Barangkali ada suatu kaum yang tidak membedakan antara pakaian laki-laki dan perempuan, yang membedakan hanya adanya penutup wajah (hijab).
Adapun tasyabbuh dalam suara/ucapan dan gaya berjalan diharamkan jika dilakukan dengan sengaja. Namun, jika asal penciptaannya sudah seperti itu, maka ia diperintahkan untuk meninggalkannya dan tidak membiasakan untuk seperti itu. Tentunya hal ini bisa dilakukan secara bertahap. Jika ia tidak berusaha, maka ia akan masuk dalam yang dicela, terlebih jika ia ridho dengan kekurangannya tersebut.

Wallahu ta’ala a’lam bish shawwab.

*petikan penjelasan Kitab Nasihatiy linnisa karya Ummu ‘Abdillah Al Wadi’iyyah oleh Al Ustadz Abu ‘Umar Ibrahim hafidzahullah



read more - Haramnya laki-laki menyerupai wanita dan haramnya wanita menyerupai laki-laki