Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahlan wa sahlan di dunia 'Baru Belajar'
love

Monday, September 9, 2013

Serba-Serbi Ikhwan Akhowat


Dulu saya pikir enak ya jadi ikhwan, bisa talaqqi di hadapan para ulama, bermajelis langsung di depan asatidzah. Dulu saya pikir enak ya jadi ikhwan, bisa bepergian kemana saja sendirian. Dulu saya pikir enak ya jadi ikhwan salafi, ngaji tanpa pusing memikirkan penampilan karena penampilan nyunnahnya laki-laki itu tidak berbeda jauh dengan laki-laki yang ngaji di majelis lain semisal ikhwah kampus yang benar-benar mengamalkan sunnah, atau jama’ah-jama’ah lain yang juga benar-benar mengamalkan sunnah. Mereka sama-sama bercelana cingkrang atau tidak isbal (di atas mata kaki), berjenggot, dan memakai penutup kepala. Mungkin bedanya kalau ikhwah salafi lebih suka memakai gamis dipadu sarung atau sirwal, atau pakaian yang panjangnya sampai betis (jubah) kemudian memakai peci putih, sedangkan ikhwah lain mungkin lebih sering terlihat hanya memakai hem lengan pendek atau hem batik dipadu dengan celana, serta jarang yang memakai penutup kepala atau mungkin ada yang memakai kupluk (peci hitam). Tidak terlalu berbeda tetapi tetap masih dapat dibedakan.
Berbeda dengan akhowat salafiyyah, perbedaan mereka dengan perempuan-perempuan lain sangat jauh dari segi penampilan. Mereka memakai pakaian yang berwarna gelap, seringnya serba hitam, berkaos kaki, bersarung tangan, dan bercadar (penutup wajah kecuali mata) bahkan berpurdah (penutup kepala). Sementara wanita-wanita lain tidak perlu saya tuliskan di sini sepertinya bagaimana-bagaimananya. Yang jelas, jauh sekali perbedaannya. Hal ini membuat akhowat salafiyyah terlihat mencolok sekali. Hal ini pulalah yang saya kira menjadi salah satu sebab tidak mudahnya seorang perempuan beralih menjadi seorang perempuan salafiyyah entah karena faktor dari dirinya sendiri yang masih belum siap ataukah karena faktor keluarga yang belum mengizinkan. Namun, pada tulisan ini saya bukan bertujuan menyebutkan kelebihan menjadi seorang laki-laki dibandingkan menjadi seorang perempuan melainkan saya akan menyebutkan persamaannya, sedikit saja.
Ya, siapa bilang hanya kaum perempuan salafiyyah yang mendapat pertentangan dari keluarga? Siapa bilang seorang ikhwan salafi tidak ada yang mendapat pertetangan dalam keluarga? Pada tulisan sebelumnya saya telah membuat tulisan yang berkaitan dengan akhowat salafiyyah. Nah, kali ini saya akan menuliskan sedikit saja tentang ikhwah salafi. Bukan bermaksud sok tahu walaupun ada unsur sok tahu juga, hehe, tetapi saya di sini hanya akan menulis yang pernah saya dengar dari cerita orang, sedikit saja karena saya pun tidak tahu banyak kehidupan mereka.
Bukan hanya akhowat yang punya kisah perjuangan, melainkan ikhwah pun punya cerita tersendiri. Tidak sedikit yang harus terseok-seok dalam bermetamorfosis walaupun tidak sebanyak akhowat. Saya tidak bisa memberikan trik bagi seorang ikhwan karena laki-laki diciptakan memiliki akal yang sempurna jadi tentunya akan lebih kreatif daripada perempuan. Terlebih saya tidak tahu kehidupan ikhwah tetapi mungkin trik bagi akhowat yang pernah saya tulis pada tulisan sebelumnya (TRIK) bisa diaplikasikan juga.
Perjuangan keras akhowat adalah pada saat metamorfosis awal yaitu ketika ia sebagai perempuan biasa kemudian bertekad untuk menjadi  lebih baik, menyempurnakan hijabnya. Sebagian besar mereka akan banyak mendapat tekanan, halangan, dan berbagai rintangan baik dari keluarga maupun dari lingkungan. Dan jalan keluar terakhir setelah segala jurus ditempuh sebagaimana pernah saya katakan adalah dengan menikah. Orang tua yang memiliki anak bercadar cenderung akan lebih senang jika anaknya tersebut segera menikah, saya paham sekali hal ini. Oleh karena itu, konsekuensinya adalah orang tua akan mendapat menantu seorang ikhwan salafi. Ini adalah titik terang bagi seorang akhowat dan insyaa Allah mudah jalannya. Tentunya dengan izin dan pertolongan dari Allah orang tua bisa dengan mudah menerima kondisi calon menantunya tersebut karena yang benar-benar menerima keadaan anaknya yang sekarang adalah ikhwah salafi.
Berbeda dengan ikhwah salafi, mereka sebagian besar tidak mendapat pertentangan keras pada awal-awal ngaji (tanpa menafikan ikhwah yang mendapat pertentangan sejak awal ngaji lho ya). Barulah ketika mereka hendak menikah kemudian mengutarakan kriteria calon isteri yang diinginkan kepada orang tua, orang tua baru paham majelis apa yang ternyata selama ini diikuti oleh anaknya. Ketika calon isteri yang diinginkan adalah perempuan yang telah berhijab syar’I, maka tanggapan orang tua pun beragam, ada yang mendukung, ada yang menyerahkan pilihan kepada anaknya, ada yang menentang dan tidak membolehkan, ada yang mencarikan calon menantu sesuai keinginan sendiri, dsb. Jika engkau berada pada keadaan pertama atau kedua, maka bersyukurlah. Namun jika engkau berada pada keadaan ketiga atau keempat, maka bersabarlah.   
Mungkin di benak kalian ada yang heran kok saya (perempuan) bisa tahu? Ya, saya mengetahuinya dari cerita orang-orang. Saya punya beberapa kakak kelas SMA yang sejak SMA mereka termasuk ikhwah ngaji. Mereka yang mengusahakan agar ada jadwal kajian rutin yang diisi oleh ustadz salafi di masjid SMA. Penampilan mereka pun sudah nyunnah sejak dahulu walhamdulillah. Namun, qoddarolloh selepas lulus dari SMA kemudian kuliah, saya dengar kabar bahwa beberapa di antara mereka tidak seperti dulu lagi dan puncaknya adalah mereka kemudian menikah dengan perempuan awam. Entah karena memang ada pertentangan dari keluarganya atau karena telah futur, wal iyadzubillah, semoga Allah membalikkan hati mereka kembali kepada al haq. Semoga Allah menjaga kita. Ada pula ikhwan yang belum juga menikah dikarenakan orang tuanya tidak mau kalau calon menantunya bercadar. Ada lagi ikhwan, masih muda, keluarganya menerima jikalau nanti mendapat menantu bercadar. Namun, qoddarollah karena sudah lama belum jua mendapatkan calon yang berhijab syar’i sedangkan mungkin godaan syahwat semakin kuat karena ia pegawai kantor yang notabene terdapat unsur ikhtilat di dalamnya sehingga mau tidak mau ia harus berinteraksi dengan wanita, lantas ia berkata kepada wasilahnya, “Kalau tidak dapat akhowat salafi, yang awam saja ndak apa-apa.” Hey! Engkau mau mempertaruhkan keselamatan agamamu? Pernikahan itu bukan hanya sekedar untuk menjaga kemaluan! Mungkin ada yang berpikir, “Nanti insyaaAllah dia mau kalau saya suruh ngaji, saya suruh pakai cadar.” Oh ya? Yakin? Bagaimana jika malah engkau yang terbawa arus? Jujur miris saya mengetahuinya walaupun penampilan lahiriyah bukan tolok ukur mutlak ketaqwaan seseorang. Bersabarlah sedikit lagi yaa ikhwah…
Melihat banyak kasus yang terjadi, sepertinya tidak mengapa saya sampaikan di sini. Saya hanya ingin sedikit memberi saran kepada ikhwah salafi yang belum mendapat izin untuk menikahi  seorang akhowat yang telah memakai hijab sempurna ataupun ikhwah yang tengah mencari pasangan hidup yang demikian tetapi belum jua mendapatkan. Untuk yang belum diizinkan karena orang tua belum siap memiliki menantu bercadar, tetap bersabarlah, jangan putus asa, minta tolonglah kepada Allah agar dimudahkan jalannya. Tetaplah berusaha agar mendapat restu dari orang tua. Berusahalah untuk mendapatkan kedua-duanya yaitu keridhoan orang tua dan isteri shalihah. Ini pun butuh proses, seberapa lama waktu yang dibutuhkan tergantung dari karakteristik orang tua dan bagaimana cara yang engkau upayakan. Jangan lantas menyerah kemudian memilih yang ala kadarnya. Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Ingat! Isteri adalah madrasah pertama bagi anak-anakmu kelak. Jagalah anak keturunanmu! Salah satu upaya menjaga keturunan sebelum mereka lahir adalah dengan engkau mencari pasangan yang shalihah, wanita yang baik agamanya. Begitu pun kepada yang sedang mencari calon tetapi belum jua mendapatkan. Bersabarlah, yakinlah ada calon yang baik yang Allah siapkan untukmu dan ia sedang mempersiapkan diri agar pantas bersanding denganmu.
Bagi yang benar-benar menginginkan calon isteri dari kalangan akhowat bercadar, pastikan engkau telah mengutarakan hal itu kepada orang tuamu jauh-jauh hari sebelum engkau memutuskan untuk siap menikah. Hal ini untuk mengantisipasi jika orang tuamu keberatan, maka engkau masih punya waktu, kesempatan, dan harapan untuk mengubah pendirian orang tua. Tentunya engkau lebih tahu bagaimana kondisi orang tuamu. Pikirkan baik-baik dan rencanakan matang-matang setiap apa yang akan engkau lakukan. Semoga Allah memudahkan urusanmu dan memberkahimu.

Allohu a’lam
read more - Serba-Serbi Ikhwan Akhowat