Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahlan wa sahlan di dunia 'Baru Belajar'
love

Friday, December 3, 2010

*Nasihat Empat Tahun Yang Lalu*


Bismillah,

Kekalutan itu berawal dari masalah demi masalah yang aku alami di kampus. Persoalan-persoalan itu seperti datang beruntun menimpaku, tak mentolerir keadaanku yang demikian lemah, hingga membuatku putus asa. Saat diri ini tersibukkan dalam ranah ****** kampus. Bersamaan itu pula jiwa ini ingin berlepas diri dari segala kasak-kusuk di kampus dan jiwa ini ingin kembali ke fitrah diciptakannya manusia. Ingin mendekatkan diri sepenuhnya kepada-Mu. Namun, terasa begitu banyak beban menghimpit dari mana-mana.
Hari itu aku bertekad untuk mengutarakan semuanya ke ibuku (untuk memantapkan keputusan yang sekiranya tepat, walaupun hari Jumat lalu, keputusan telah aku ambil). Yah, aku harus segera mudik. Sabtu yang cukup cerah untuk melakukan perjalanan, tapi malangnya kereta yang aku tumpangi macet dalam waktu yang cukup lama di tengah perjalanan yang kutempuh.
Akhirnya, sore itu kakiku telah berhasil menginjak lantai rumahku yang sudah setengah bulan tak kuinjak. Bertemu ibuku dan mbakku.

Menyesuaikan diri dengan keadaan rumah sembari merencanakan langkah yang tepat untuk bisa sampai ke sasaran. Hemm, mumpung ibu sendirian di dapur, aku ajak ngobrol ringan yang bisa memancing ke arah itu dan selanjutnya bidik tepat sasaran. Kemudian muncullah saudariku. Yah, sudah kuduga, reaksi mereka akan seperti itu, masih sama seperti empat tahun yang lalu. (Mungkin kalian gak paham akan masalah yang satu ini)

Malam semakin larut, pukul 22.15. Dua orang penghuni rumah itu telah tertidur pulas, hanya aku yang masih terjaga. Di tengah keputusasaanku, kulangkahkan kaki menuju kamar tidur ibuku. Di sana, kulihat ibuku terbaring pulas di atas tempat tidur, sambil sesekali terbangun dan melirikku lalu berkata, “Turu kene a, Nduk.”
“ Nggih, mangke. Kula dereng ngantuk,” jawabku. Aku berjalan menuju meja yang ada di samping pintu kamar kemudian duduk. Tak sengaja kulihat dalam laci meja itu tempat pensil coklat usangku berhiaskan gantungan berbentuk baju kebanggaan kita, SMANSA. Kubuka perlahan isinya, dan kutemukan dua carik kertas surat yang telah lusuh.

Ini salah satunya… sengaja aku ketik untuk mengingatkan kembali.

=======================================================
Untuk akhwati fillah fil ardillah
Six-fa club

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam untuk Rasulullah.
Kunasihatkan untuk diriku sendiri dan kepadamu wahai saudaraku. Bertaqwalah kepada Allah yang telah menciptakan dirimu dan diriku, yang telah memberi petunjuk untuk berada di dien-Nya yang hanif. Kunasihatkan kepada diriku sendiri karena betapa kumasih sangat lemah iman-Nya, dan kunasihatkan kepada kalian karena kalian adalah saudara-saudaraku dan kumencintai kalian. “Agama itu nasihat.” (1)

Aku tak lebih baik dari kalian, aku dhaif, dan kalian pun tau siapa diriku. Marilah kita saling menasihati dalam kebaikan. Di masa sekarang ini, dimana kita berada dalam masa peralihan. Kalian tahu syubhat-syubhat dan syahwat beredar dalam tubuh kita, dimana kita terjangkiti virus-virus yang susah untuk menghindarinya. Ya, karena itu fitrah. Ada syubhat, syahwat, virus merah jambu, kakak ketemu gedhe, dan lain-lain. Maka hati-hatilah terhadap segala sesuatu yang mendatangkan syubhat dan syahwat (2).

Hati-hatilah wahai saudaraku, sungguh musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Ketahuilah hati kita berada di antara dua jemari Allah, yang Dia bolak-balikkan sekehendak-Nya sedangkan kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita nanti. Berdoalah kepada-Nya untuk selalu diistiqomahkan dalam jalan-Nya yang haq. Jangan selalu kita turuti apa yang ada dalam perasaan kita, sesungguhnya nafsu selalu menyuruh kepada kemungkaran. Jangan mengikuti hawa nafsu dan syahwat.

Seandainya di antara kita muncul perasaan kepada ikhwan ajnabi maka sibukkan dari kita kepada Allah dengan shalat, berdzikir, menghafal, membaca, dll. Jangan sampai angan-angan dan perasaan kita kosong dari itu semua karena setan masuk ke dalam jiwa-jiwa yang jauh dari mengingat Allah. Bila kita menyukai seorang ikhwan, maka jangan turuti hawa nafsu dan perasaan kita untuk melakukan hal yang lebih misal sms-an yang berlebihan, telepon2, atau yang lain yang bisa membangkitkan syahwat kita dan bisa menuju pada zina mata, hati, atau pikiran (3). Marilah kita saling nasihat-menasihati dalam kebaikan, saling mengingatkan. Bila aku bersalah, melakukan kemaksiatan ataupun melanggar syariat Allah Ta’ala, maka kewajiban kalian untuk mengingatkan. Bicaralah dengan lemah lembut dan berilah saran yang baik.

Wahai diriku dan saudariku, berhijablah kalian di depan laki-laki ajnabi (4). Sesungguhnya syariat Allah telah mewajibkan berhijab pada setiap muslimah. Ingatlah, berhijab tidak hanya diwajibkan untuk seorang ustadz, kyai, ulama, atau anak Rohis saja tetapi untuk kita semua, wanita muslimah. Allah mensyariatkan hijab karena banyak sekali manfaatnya dan karena saking sayangnya Allah dengan kita. Aku tahu, kita semua sudah punya rencana untuk berhijab dengan benar dimanapun dan kapanpun, tapi ternyata tak semudah itu. Ya, poses itu panjang. Maka berlatihlah dari sekarang. Berlatihlah berhijab untuk ke warung yang terlalu jauh, lama-lama yang dekat dan nanti kalian akan berhijab dimana saja (bila ada laki-laki ajnabi).

“Perubahan itu dimulai dari diri kita sendiri.” Maka niatkanlah untuk Allah Ta’ala. ”Barangsiapa yakin akan niat-Nya dan selalu berusaha, Insya Allah pasti bisa.” Janganlah kita mengecek dan mencaci orang yang berhijab dengan benar (sekalipun hanya bermaksud bercanda) karena sesungguh-Nya itu termasuk kafir sesudah beriman. Sesungguhnya para akhowat yang berhijab dengan benar (misal: orang yang memakai gamis gelap-gelap, orang cadaran, dll), tiada yang mereka harapkan kecuali wajah Allah. Wallahu musta’an.

Maka berhati-hatilah terhadap syariat Allah. Berpegang teguhlah kita semua terhadap tali Allah (Al Qur’an dan As Sunnah). Jauhilah syirik dan bid’ah karena setiap bid’ah itu sesat.

Wallahu a’lam bishawab.
Dari saudarimu

*********************************************************************
Tambahan dariku (red):
(1) “Agama itu adalah nasihat (sebanyak tiga kali).” Lalu beliau bersabda : “Nasihat itu bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum Muslimin, dan keseluruhan mereka.” (HR. Muslim)

(2) Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa senjata setan dalam menyebarkan fitnah terdiri dari dua macam: fitnah syubhat dan fitnah syahwat, di mana fitnah syubhat adalah yang terbesar. Terkadang kedua fitnah ini dapat bercokol pada diri seorang hamba dan terkadang pula salah satunya.
Adapun fitnah syubhat disebabkan karena lemahnya wawasan dan dangkalnya ilmu dien (agama). Terlebih lagi jika dibarengi adanya maksud jelek, munculnya hawa nafsu, sehingga yang menjadi hakim adalah hawa nafsu, dan bukan petunjuk.

احْذَرُوا مِنَ النَّاسِ صِنْفَيْنِ: صَاحِبَ هَوَى قَدْ فَتَنَهُ هَوَاهُ وَصَاحِبَ دُنْيَا أَعْمَتْهُ دُنْيَاهُ

“Hati-hatilah dari dua jenis manusia: pengikut hawa nafsu yang telah terfitnah oleh hawa nafsunya dan hamba dunia yang telah dibutakan oleh dunianya.” (http://asysyariah.com/print.php?id_online=338)

(3) Dalam riwayat Muslim disebutkan:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظْرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلإِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانِ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina dan zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluanlah yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1140)

(4) Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Perhatikanlah, ayat ini memerintahkan para wanita untuk menutup seluruh tubuh mereka tanpa kecuali. Berkata As-Suyuthi rahimahullah, “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasatul Fadhilah, hal. 51, karya Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah). (http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1517)


********************************************************************

*Masih ingatkah itu surat dari siapa? Subhanallah, aku baru menyadari bahwa nasihat ini telah ditulisnya empat tahun yang lalu. Ketika kita sama-sama masih ingusan, benar-benar dalam masa transisi dari kecil menjadi dewasa. Saat kita masih kelas 1 SMA, teman sebangkuku, saat jiwa-jiwa ini bergejolak dan masih dalam pencarian jati diri. Dan dia telah terpikir sampai ke sana, bahkan kita dapat melihat sendiri sekarang dengan teladan yang dicontohkannya.
Semoga kita semua, khususnya aku pribadi bisa mengikuti jejaknya. Amin.
Mari kita berusaha menjadi *sebaik-baik perhiasan di dunia*.

NB: Aku sempat bingung, kok bisa aku yang menyimpan surat ini ya? Padahal kan kita dulu ber-enam. Jazakunallahu khairan *senyum*.

Sore ini aku harus kembali ke Jogja lagi. Di menit-menit terakhir keberangkatanku, Ibuku berpesan padaku untuk tidak ******** (aneh-aneh). Namun, aku coba lagi menjelaskan pelan-pelan kebenaran akan hal itu. Ya, wajarlah aku pun paham akan kekhawatiran ibuku. Namun, suatu saat nanti semoga beliau bisa agak sedikit menerima dan kurasa pun begitu. (setitik harapan bersemi....)

Dan, malam ini bersamaan dengan kutuliskannya tulisan ini, salah satu tetangga kamar di kos yang aku tempati masuk ke kamarku. Sesaat ia terpana melihat buku ****** di depan pintu kamarku. Dan selanjutnya, terbukalah beberapa cerita yang sebelumnya aku tidak tahu tentangnya. Sungguh tak kuduga, dan secercah harapan pun muncul...

رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (Ali ‘Imran: 8)

“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula daam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)

Wallaahulmusta'an...


Reksonegaran, Yogyakarta 21 Februari 2010 pukul 01.30.
read more - *Nasihat Empat Tahun Yang Lalu*

Friday, November 12, 2010

Tampilan Blog


 Bismillah,
Assalamu'alaikum teman-teman semua,,
Menurut kalian blog ini gimana sih?
Ada yang gak nyaman dengan efek shocked yang muncul setiap kali membuka blog ini gak? Mungkin bagi orang yang baru pertama kali membuka blog ini jadi kaget atau mengira blog ini gak bisa dibuka.. Kalo iya, aku ubah deh, tapi lupa e caranya.... Maklum masih newbi, he. Teman2 ada yang mau berbagi ilmu?
read more - Tampilan Blog

Friday, November 5, 2010

Dauroh Al-Anshor Sleman “Bila Ummat Tanpa ‘Ulama” (LIVE)


Bismillah,
Insya Allah, akan diselenggarakan dauroh.

Tema : “Bila Ummat Tanpa ‘Ulama”
dari kitab Al Arba’una Hadiitsan fii Madzhabis Salaf karya Asy Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi
Pemateri : Al Ustadz Muhammad Afifuddin As Sidawy (Pengasuh Ma’had Al Bayyinah Gresik)
Waktu : Senin, 1 Dzulhijjah 1431 H/8 November 2010
Pukul 09.00 WIB – selesai
Peserta : Umum (Putra & Putri)
Tempat :
Putra : Masjid Ma’had Al Anshor
Putri : Tahfizh Banat Ma’had Al Anshor
Penyelenggara : Ma’had Al Anshor Yogyakarta (081804130142)
Insya Allah disiarkan LIVE di http://syiarsunnah.com

Download rekaman klik di sini
read more - Dauroh Al-Anshor Sleman “Bila Ummat Tanpa ‘Ulama” (LIVE)

Tuesday, October 26, 2010

Daurah "Menangkal Bahaya Pemikiran Liberalisme" (Bantul,30/10/2010)


Bismillah...

Hadirilah, Daurah bertema :
"Menangkal Bahaya Pemikiran Liberalisme Yang Muncul Dalam Islam"

Pembicara :
Al Ustadz Luqman Ba’abduh

Insya Allah dilaksanakan hari Sabtu 30 Oktober 2010 / 22 Dzulqadah 1431 H
Pukul 09.00 WIB – selesai

Tempat:
Masjid Agung Manunggal
Jl. Jendral Sudirman no 1, Bantul

Peserta :
UMUM (khusus Putra, Putri disediakan di PP Ar Ridlo, Sangkal, Sewon, Bantul & TA Ibnu Taimiyyah, Sedan, Ngaglik Sleman)

Selengkapnya klik pamflet ini :

http://www.salafy.or.id/upload/bantul30102010.jpg
read more - Daurah "Menangkal Bahaya Pemikiran Liberalisme" (Bantul,30/10/2010)

Friday, September 3, 2010

Taubat dari Perbuatan Zinâ


Bismillah

Oleh: Al-Ustâdz Abû Abdillâh Muhammad Al-Makassarî

Ada pemuda-pemudi melakukan zina beberapa waktu yang lalu. Keduanya ingin bertaubat. Pertanyaan:

a. Bagaimana taubatnya?

b. Haruskah keduanya menikah?

c. Bagaimana kalau orang tua wanita tetap tidak setuju?

d. Bagaimana nanti status anak keduanya?

Mohon bantuannya supaya mereka berdua dapat kembali ke jalan yang benar.

Ahmad Abdullah
ahm…@plasa.com

Jawab:

Cara Taubatnya

Keduanya bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha yaitu dengan memenuhi tiga syarat taubat yang disebutkan oleh para ulama. Tiga syarat ini disimpulkan oleh para ulama dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pertama, keduanya harus menyesali perbuatan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

النَّدَمُ تَوْبَةٌ

“Sesungguhnya penyesalan itu adalah taubat.”1

Karena itu hendaklah keduanya menyesali apa yang telah mereka lakukan.

Kedua, melepaskan diri dan menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari perbuatan yang seperti itu. Tidak lagi mengulangi maupun mendekati apa-apa yang akan menyeret dan mengantar kepada perzinaan, seperti pergaulan bebas dengan wanita (pacaran), berbincang-bincang secara bebas dengan wanita yang bukan mahram, bercengkerama, ikhtilath/bercampurbaur. Semuanya adalah perkara yang diharamkan syariat untuk menutupi pintu perzinaan. Hendaknya keduanya menjauhkan diri dari itu semua.

Ketiga, kemudian keduanya ber-‘azam/bertekad kuat untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya tersebut. Juga beristighfar kepada Allah, memohon ampunan-Nya. Dalam hal ini ada hadits Abu Bakr Ash-Shiddiq tentang disyariatkannya seseorang yang telah melakukan perbuatan maksiat untuk shalat dua rakaat lalu memohon ampunan kepada Allah.2

Haruskah Keduanya Menikah?

Keduanya tidak harus menikah. Namun tidak mengapa keduanya menikah dengan syarat: apabila wanita yang telah dizinai tersebut hamil karena perzinaan itu, maka tidak boleh menikahinya pada masa wanita itu masih hamil. Mereka harus menunggu sampai si wanita melahirkan bayinya, baru boleh menikahinya. Inilah pendapat yang benar yang disebutkan oleh ulama, yaitu bahwa wanita yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahi sampai melahirkan. Karena di sana ada dalil yang menuntut adanya istibra` ar-rahim (pembebasan rahim) dari bibit seseorang. Karena itu rahim harus dibebaskan terlebih dahulu dengan cara menunggu sampai lahir, sehingga rahimnya bebas tidak ada lagi bibit di dalamnya. Setelah itu baru bisa menikahinya. Itu pun apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.

Apabila wanita yang dizinainya tidak sampai hamil, maka pembebasan rahimnya dengan cara menunggu haid berikutnya. Setelah melakukan perzinaan kemudian dia haid. Dalam kasus yang seperti ini, boleh menikahinya setelah melewati satu kali masa haid, yang menunjukkan bahwa memang tidak ada bibit yang tersimpan dalam rahimnya. Dan tentunya ini apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.

Adapun jika salah satu dari keduanya belum bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga salah satu dari keduanya masih berlaku padanya nama zaani (pezina) maka keduanya tidak boleh menikah. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

﴿الزَّانِي لا يَنْكِحُ إِلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ﴾

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.” (An-Nur: 3)

Maksudnya, seorang pezina diharamkan menikah dan sebaliknya wanita pezina juga haram dinikahi. Jadi bolehnya menikah adalah apabila keduanya memang sudah bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga tidak lagi dinamakan lelaki pezina atau wanita pezina.

Bagaimana Status Anak Keduanya?

Ini tentunya kalau ditakdirkan bahwa wanita yang dizinai tersebut hamil akibat perzinaan tersebut. Status anak tersebut adalah anak yang lahir karena perzinaan. Anak ini tidak boleh dinasabkan pada lelaki yang berzina dengan ibunya, karena dia bukanlah ayahnya secara syariat. Oleh karena itu, sang anak dinasabkan kepada ibunya. Demikian pula tidak boleh saling waris-mewarisi. Juga seandainya anak tersebut wanita, maka laki-laki tersebut tidak boleh menjadi walinya dalam pernikahan dan juga bukan mahramnya sehingga tidak berlaku padanya hukum-hukum mahram. Sehingga laki-laki itu tidak boleh berkhalwat dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, tidak boleh berjabat tangan dengannya, dan seterusnya. Satu-satunya hukum yang berlaku adalah bahwa si laki-laki tidak boleh menikahi anak hasil perzinaan tersebut, karena anak wanita itu berasal dari air maninya. Hanya ini satu-satunya hukum yang berlaku, sebagaimana diterangkan oleh para ulama. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote:

1 HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dan yang lainnya dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah (4252).
2 HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (1021).

Sumber: Majalah Asy Syarî`ah, Vol. III/No. 26/1427H/2006, Kategori: Problema Anda, hal. 74-75. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=376

http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/munakahat-keluarga/taubat-dari-perbuatan-zina/

read more - Taubat dari Perbuatan Zinâ

Thursday, September 2, 2010

Bolehkah Hijab dan Cadar Berwarna Cerah?


Bismillah,
Pertanyaan:
Dalam berhijab dan bercadar, Apakah seorang wanita diperbolehkan memakai warna yang cerah seperti warna merah, warna hijau, biru, ungu, dan yang lainnya? Dengan alasan bahwa tidak ada larangan bagi seorang wanita memakainya?
(ditanyakan pada safari dakwah ulama ahlussunnah, Balikpapan Selasa tanggal 02 Rabi’ul Awal 1431 H)
Jawaban:
Oleh Asy Syaikh Abdullah bin Umar Al Mar’I hafidzhahullah

Telah disebutkan dalam Ash Shahihain, Shahih Al-Bukhori dan Muslim, dari hadits Aisyah rodhiyallahu ta’aala ‘anhaa bahwa pada saat pertama kali diturunkannya ayat hijab, para wanita Anshor, begitu mereka mendengarkan tentang ayat tersebut maka merekapun bersegera untuk mengamalkannya. Sehingga disebutkan di dalam hadis tersebut bahwa aku tidak melihat seperti wanita anshor, yaitu dalam hal pemenuhan seruan dan kesegeraan mereka menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk berhijab. Maka yang menjadi syahid adalah bahwa Aisyah berkata, “fakhorojna wa qod syaqoqna bikhumurihinna wa satarna ru`uusahunna wa ajsaadahunna ka`annahunnal ghirbaan” (maka mereka langsung keluar dan mereka telah menyobek kain-kain mereka untuk kemudian menutupi kepala-kepala dan tubuh-tubuh mereka, seakan-akan mereka itu seperti burung gagak). Apakah kalian tahu burung gagak itu warnanya apa? Merah atau biru? Tentu warnanya hitam. Maka termasuk di antara sunnah para Sohabiyyat dalam berhijab adalah mengenakan pakaian hitam. Mengenakan pakaian hitam.
Demikian pula disebutkan di dalam banyak hadis, di antaranya:
Hadis Aisyah dalam Ash-Shahihain juga, dalam kisah “al ifk”. Di dalam riwayat itu disebutkan bahwa hijab beliau juga berwarna hitam. Dan semisal riwayat tersebut, telah datang pula riwayat dari hadis Asma` rodhiyallaahu ta’ala ‘anha dan riwayat-riwayat lain yang sedemikian banyak. Maka ini semua menunjukkan bahwa hijabnya wanita-wanita sahabat, adalah berwarna hitam. Dan kita mengatakan bahwa Al Kitab dan As Sunnah harus dipahami dengan pemahaman siapa? Dengan pemahaman salaful ummah, dan dengan penerapan salaful ummah. Dan ini termasuk di antara penerapan salaful ummah. Bahwa mereka dulu mengenakan hijab dengan warna hitam.
Kemudian di sini juga ada hikmah lain yang lathifah (ringkas tapi penting), yaitu bahwa warna hitam lebih menjauhkan seseorang dari menghias dirinya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang bersemangat untuk memilih hijab dengan warna hitam dan bukan warna yang lainnya.
Syarat-Syarat Hijab yang Syar’i
Dan di antara syarat-syarat hijab, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, bahwa hijab itu memiliki delapan persyaratan. Hijab seorang wanita muslimah itu tidaklah menjadi hijab yang syar’iy, sempurna, sampai memenuhi delapan syarat ini.
Syarat yang pertama, bahwa pakaian tersebut menutupi seluruh tubuhnya. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ..الأية
Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suaminya demikian pula kepada ayah-ayahnya dan kepada ayah-ayah dari suami-suami mereka (Q.S.24-31).
Demikian pula disebutkan dalam hadis Asma, dan yang semakna dengannya adalah hadis Asma, dan juga terdapat pada hadis Ibnu Mas’ud rodhiyallaahuta’aalaa ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lain, bersabda Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam:
المرأة عورة فإذا خرجت اشتشرفها الشيطان
“Wanita itu adalah aurat. Maka apabila ia keluar,syaithon akan membuatnya indah”.
Yaitu syaithon menjadikannya indah, dan membuat para lelaki terfitnah dengannya, serta membuat wanita itu terfitnah oleh para lelaki.
Kemudian syarat yang kedua, bahwa pakaian itu sendiri bukanlah sebuah perhiasan. Karena itu bertentangan dengan makna hijab. Oleh karena itu tidak sepantasnya bagi seorang wanita untuk mengenakan hijab yang justru menimbulkan fitnah. Seperti kalau hijab itu diberi pernak-pernik dan hiasan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian wanita karena kejahilan mereka. Dan hal ini juga karena sikap bermudah-mudahan –disayangkan sekali– dalam mengenakan sebagian jilbab yang diberi hiasan. Jilbab yang diberi hiasan, dibordir dengan perak atau dengan warna perak atau dengan warna emas dan sebagainya. Begitu juga dengan warna-warna. Apabila pada hijab tersebut terdapat banyak warna maka yang demikian itu mengandung makna hiasan. Dan kalian telah mendengar dalam ayat tadi, Allah berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ..الأية
Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suaminya demikian pula kepada ayah-ayahnya dan kepada ayah-ayah dari suami-suami mereka (Q.S.24-31).
Kemudian syarat yang ketiga dan keempat, hendaknya pakaian tersebut tidak sempit dan tidak pula tipis. Tidak sempit sehingga membentuk lekukan tubuh karenya. Dan tidak tipis sehingga menampakkan apa yang di balik pakaian tersebut karenanya dan karena dia tembus pandang. Dua syarat ini ditunjukkan oleh hadis Abu Hurairoh rodhiyallaahu’anhu di dalam Ash Shahih. Nabi shollallaahu’alayhiwasallam telah mengabarkan:
صنفان من أهل النار لم أرهما
“Ada dua golongan ahli neraka yang belum pernah aku lihat”.
Dan beliau menyebutkan dari dua kelompok itu:
و نساء كاسيات عاريات مائلات مميلات رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة لا يدخلون الجنة و لا يجدن ريحها و إن ريحها لتوجد من مسيرة كذا و كذا
“Para wanita yang berpakaian tapi mereka telanjang. Dan mereka berjalan dengan melenggak-lenggok dan mereka berjalan dengan menimbulkan fitnah dengan melenggak-lenggok. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring. Mereka tidak masuk ke dalam surga. Dan mereka tidak mencium baunya. Dan sungguh bau surga itu bisa tercium dari jarak demikian dan demikian”.
Ibnu Abdil Barr rohimahullaahuta’aalaa ketika beliau menjelaskan hadis ini maka beliau mengatakan:
و لا تكون المرأة كاسية و عارية –أي في نفس الوقت– إلا أن يكون كسائها ضيقا أو رقيقا
“Tidaklah wanita itu disifati dengan berpakaian dan telanjang –yaitu pada saat bersamaan–, melainkan apabila pakaian yang dia kenakan itu sempit atau tipis.”. Dan benarlah apa yang beliau katakan, semoga Allah merahmati beliau.
Demikain pula disebutkan di dalam Ash Shohih dari hadis Usamah rodhiyallaahu ta’aala ‘anhu bahwa Nabi shollallaahu ‘alayhi wa aalihi wasallam pernah memberi Usamah hadiah berupa pakaian qibthiy. Kemudian setelah beberapa waktu Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bertanya kepada Usamah tentang pakaian tersebut. Usamah berkata: “Aku telah menghadiahkan pakaian tersebut kepada istriku wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bersabda: “Perintahkan kepada istrimu hendaknya dia mengenakan di dalamnya “ghilaalah”. Karena aku khawatir pakaian itu akan menampakkan tulang tubuhnya”. Pakaian Qibthiy itu termasuk pakaian penduduk Mesir yang menyerupai pakaian beludru. Kalian tahu beludru? Jenis kain yang jatuh di badan. Maka ketika Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam mengetahui bahwa Usamah memberikan pakaian itu kepada istrinya, beliau menyuruh Usamah untuk menyuruh istrinya mengenakan “ghilaalah” di bawah pakaian qibthiy tersebut. “Al ghilaalah” adalah pakaian kasar yang membuat pakaian halus tidak jatuh di badan. Seperti sebagian pakaian untuk anak kecil perempuan, yang dipakai di bagian bawah, jenis kain yang membuat pakaian mengembang. Kain yang seperti ini disebut “ghilaalah”. Sehingga dengan kain ini, pakaian di atasnya tidak menempel dengan badan. Dan ini menunjukkan bahwa makna ini memang dikehendaki dalam hijab seorang wanita muslimah. Yaitu dia tidak mengenakan pakaian yang sempit. Dan tidak mengenakan jenis kain yang jatuh di badan di hadapan para pria non-mahrom. Kalau di hadapan suaminya tentu boleh. Adapun di hadapan pria non-mahrom, maka tidak diperbolehkan.
Kemudian syarat yang kelima, hendaknya hijab tersebut tidak diberi minyak wangi atau harum-haruman (bukhur). Disebutkan di dalam hadis Zaenab Ats Tsaqofiyyah, dan makna hadis tersebut juga terdapat di dalam hadis Abu Hurairah rodhiyallaahuta’aala ‘anhum, bersabda Rasulullah shollallaahu’alayhi wa aalihi wasallam –tentang wanita ketika ia ingin melakukan sholat– hendaknya ia tidak menggunakan wewangian. Dalam hadis Abu Hurairah, kalau wanita itu sengaja melakukannya dan ingin supaya para pria mencium bau harumnya, maka wanita itu adalah pezina.
أيما امرأة مست طيبا ليجد الرجال ريحها فهي زانية
“Siapa saja wanita yang memakai wewangian dengan tujuan agar para pria mencium bau harumnya, maka dia adalah pezina”
Demikian Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam bersabda. Dan di dalam hadis yang lain, yaitu di dalam hadis Zaenab Ats Tsaqofiyyah:
أيما امرأة أرادت العشاء فلا تمسن طيبأ
“Siapa saja wanita yang hendak menghadiri sholat Isya maka tidak diperbolehkan baginya menyentuh wangi-wangian”.
Hadis ini menunjukkan faidah bahwa memakai wewangian bagi wanita non-mahrom ketika hendak keluar rumah itu tidak boleh. Dan kalau dia memakainya –dan ini adalah faidah kedua– dan kalau dia memakainya dengan tujuan agar para lelaki mencium bau harumnya sehingga dengan begitu ia membuat mereka terfitnah maka ia adalah wanita pezina. Karena ia telah melakukan sebab-sebab zina. Dan disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas, bahwa Nabi shollallaahu’alayhi wa aalihi wasallam mengatakan
كتب على ابن أدم حظه من الزنى يدرك ذلك لا محالة
“Telah ditetapkan atas setiap anak Adam bahagiannya dari zina. Dia pasti mendapatkan itu dan tidak bisa menghindar darinya”.
Mata itu berzina dan zinanya adalah dengan melihat. Telinga itu pun berzina dan zinanya adalah dengan mendengar. Lisan juga berzina dan zinanya adalah dengan berbicara. Tangan pun berzina dan zinanya adalah dengan memegang. Maka dengan ini engkau mengetahui bahwa zina itu tidak terbatas pada zina kemaluan saja.
Demikian pula yang termasuk dalam syarat hijab adalah pakaian tersebut tidak boleh menyerupai pakaiannya wanita-wanita kafir atau wanita-wanita fajir (fasik). Tidak boleh bagi wanita muslimah untuk mengenakan pakaian yang merupakan pakaian khas wanita-wanita kafir atau fajir. Ini tidak boleh. Allah subhanahu wa ta’aala berfirman di dalam Al Quran Al Karim:
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Barangsiapa di antara kalian yang berloyal kepada mereka maka sesungguhnya orang itu termasuk dari golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS.5:51).
Dan termasuk di antara sikap berloyal kepada orang kafir sebagai pemimpin adalah sikap menyerupai mereka.
Allah subhanahu wa ta’aala juga berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُواْ إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu di sentuh oleh api neraka..” (Q.S.11:113)
Dan termasuk di antara sikap cenderung kepada orang-orang yang zholim adalah sikap menyerupai mereka. Dan di dalam hadis Nabi shollallaahu’alayhi wa ‘ala aalihi wasallam, di mana beliau bersabda:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kalangan mereka” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya dari hadis Abdullah bin Umar rodhiyallaahu ta’aalaa ‘anhuma dengan sanad yang shahih).
Demikian juga yang termasuk syarat-syarat hijab adalah hendaknya pakaian tersebut tidak menyerupai pakaian laki-laki. Maka tidak boleh bagi seorang wanita untuk mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki. Sebagaimana juga tidak boleh bagi laki-laki untuk mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian perempuan. Dan makna ini disebutkan di dalam hadis Ibnu Abbas, hadis Abu Hurairah, dan hadis Aisyah, di mana Rasulullah shollallaahu’alayhi wa’alaa aalihi wasallam telah melaknat para wanita yang menyerupai laki-laki. Dan beliau juga telah melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki, demikian juga laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan. Dan Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita. Maka hadis-hadis ini menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki meskipun pakaian tersebut menutupi tubuhnya. Seperti kalau di sana ada jenis pakaian yang khusus dikenakan oleh lelaki, kemudian ada seorang wanita yang hendak berhijab denganya, yang demikian tidak diperbolehkan karena pakaian tersebut khas untuk lak-laki.
Kemudian syarat yang terakhir, di antara syarat-syarat hijab seorang muslimah, hendaknya pakaian tersebut bukan termasuk pakaian syuhroh. Bukan termasuk pakaian kemasyhuran. Dan yang dimaksud dengan pakaian kemasyhuran adalah pakaian yang mendorong seseorang untuk terfitnah. Yang menyebabkan seseorang itu terfitnah, bagi yang memakainya. Di mana pakaian tersebut menarik perhatian orang. Sehingga bisa jadi wanita yang memakai pakaian kemasyhuran tersebut mendapatkan gangguan, atau menyebabkan dia terfitnah dari berbagai aspek dengan sebab memakai pakaian kemasyhuran tersebut. Yaitu pakaian tersebut memiliki perbedaan yang terlalu mencolok sehingga bisa menimbulkan fitnah.
Dan yang terakhir ini, saya ingin memberikan peringatan tentangnya karena sebahagian ikhwah dan akhwat, mereka diuji dengan masyarakat yang tidak terbiasa dengan hijab, khususnya yang berwarna hitam. Sehingga kemudian dia menjauhi hijab berwarna hitam dengan beralih kepada hijab yang berwarna dikarenakan mungkin hal itu akan menimbulkan konflik dengan masyarakat. Maka di sini kita mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’aala lebih menyayangi kita daripada diri kita sendiri. Dan para ahlul ilmi telah berbicara tentang permasalahan-permasalahan seperti ini. Apabila di sana memang ada fitnah yang betul-betul terjadi, sehingga seorang wanita sama sekali tidak mungkin mengenakan hijab, di sini berarti memang syiar-syiar Allah tidak ditegakkan. Maka ketika itu yang harus dilakukan oleh seorang muslim dan muslimah untuk berhijrah dari negeri itu ke negeri lain yang di situ ditegakkan syiar-syiar Allah. Dan kalau mungkin hijab itu dikenakan, hanya saja perbuatan mengenakan hijab ini dengan sifat tertentu yang tidak bertentangan dengan syari’at, sekalipun di dalamnya terdapat pengabaian terhadap sebagian hal yang lebih sempurna dan lebih utama, maka dikatakan bahwa kalau memang ini benar, dan merupakan kenyataan yang betul-betul terjadi bukan cuma khayalan, maka meminimalisasi keburukan itu merupakan suatu tuntunan yang syar’iy. Dan mengerjakan perbuatan yang lebih ringan mudhorotnya untuk mencegah mudhorot yang lebih besar adalah dibolehkan dalam syari’at. Dan Allah lebih mengetahui orang yang jujur dan orang yang berdusta. Karena sebagian orang kadang-kadang mengklaim bahwa dia khawatir mendapatkan mudhorot yang besar. Padahal sesungguhnya klaim itu hanya khayalan saja. Dan pada kenyataannya,persangkaannya itu tidak sungguh-sungguh ada. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengambil keringanan yang tidak disertai dengan izin untuk keringanan tersebut. Akan tetapi kalau mafsadat itu benar-benar ada, maka di sini tidak diragukan lagi bahwa mengambil mafsadat yang lebih ringan untuk menghindari mafsadat yang lebih besar itu diizinkan di dalam syari’at. Dan bersamaan dengan itu dikatakan untuk orang seperti ini: pindahlah ke negri lain, ke saudara-saudaramu yang muslim yang dengan bersama mereka engkau bisa menyembah Rabbmu sesuai dengan apa yang Ia cintai dan Ia ridhoi. Maka dengan ini menjadi jelaslah jawaban atas pertanyaan tersebut dengan berbagai sisi dan keadaannya. Wallaahu ta’alaa a’lam.
(ditanyakan pada safari dakwah ulama ahlussunnah, Balikpapan Selasa tanggal 02 Rabi’ul Awal 1431 H)
Majalah AKHWAT Edisi Perdana (Vol.1/2010/1431)

* PERHATIAN!
MAJALAH INI SUDAH TIDAK DIREKOMENDASIKAN, BAGI YANG MENGHARGAI MANHAJ MAKA TIDAK MEMBACA MAJALAH INI. SILAKAN BACA MAJALAH AHLUSSUNNAH : ASSYARIAH, TASHFIYAH, QUDWAH, QONITAH, DLL. (Dulu ketika memposting artikel ini kondisinya masih syubhat). Wallahu a'lam, kita memohon hidayah dan taufik dari Allah.
read more - Bolehkah Hijab dan Cadar Berwarna Cerah?

Thursday, August 26, 2010

Kuliahku di Semester Lima


Bismillah,

Hmm, antara sedih, penyesalan, senang (walaupun sedikit) bercampur jadi satu. Semester ini saia hanya bisa mengambil maksimal 18 sks. Bisa dikira-kira kan berapa IP-nya. Yaaah, anjlog banget nilai saia. Gara-gara mata kuliah Perancangan Pabrik 1 (PP1) yang bikin kepala puyeng, gak bisa mudik, harus kerja kelompok terus, dan bikin paper, 4 sks pula, huhu. Tapi apa mau dikata, semua sudah terjadi. Tinggal diambil ibrahnya saja, mungkin ini Allah memberi kesempatan lebih untuk saia menimba ilmu, ilmu syar'i tentunya. Dengan sks yang sedikit itu akan menjadikan saia punya waktu lebih untuk berlama-lama membaca buku dien, bisa rutin menghadiri ta'lim insya Allah, dan menambah hafalan insya Allah. semoga Allah memudahkan. Selain itu, akan semakin lama pula saia berada di Jogja, dengan begitu saia semakin leluasa menuntut ilmu syar'i yang tidak saia dapatkan (jarang) di kota asal saia. Alhamdulillah.

Sedikit cerita ini dia mata kuliah yang saia ambil di Semester V ini :
1. Teknologi Daging dan Ikan yang merupakaan mata kuliah pilihan.
2. Pengendalian Mutu
3. Metodologi Penelitian dan Perancangan Percobaan
4. Teknologi Pengemasan
5. Evaluasi Gizi dalam Pengolahan Pangan
6. Analisa Pangan dan Hasil Pertanian 1 (terpaksa mengulang setelah semester 4 kemarin dapat nilai C, huhu)
7. Praktikum Teknologi Pengemasan
8. Praktikum Evaluasi Gizi dalam Pengolahan Pangan
9. Praktikum SATOP 2 ( wiyy, susah nih)

Teman-teman bisa membayangkan kah?? hehe, menarik bukan?? Sepertinya saia harus bekerja keras, baru pertemuan pertama saja sudah dituntut tugas.

Bismillah, Semangat!! (menuntut 'ilmu syar'i, he)
read more - Kuliahku di Semester Lima

Wednesday, August 25, 2010

PERANG TERHADAP TERORIS KHAWARIJ BUKAN PERANG TERHADAP ISLAM

(Sebuah Catatan Atas Tertangkapnya Abu Bakar Ba’asyir, Bag. 1)

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menganugerahkan nikmat yang sangat besar kepada kaum muslimin di bulan Ramadhan tahun 1431 H yang penuh berkah ini, yaitu dengan tertangkapnya seorang tokoh yang berpaham Teroris Khawarij, Abu Bakar Ba’asyir.

Ucapan terima kasih juga selayaknya diberikan kepada Pemerintah RI, khususnya POLRI melalui Densus 88 –jazaahumullahu khairan- yang telah mengerahkan segenap tenaga untuk menangkap tokoh yang satu ini dan mengumpulkan bukti-bukti keterlibatannya dalam aksi-aksi Teroris Khawarij.

Namun ternyata, di tengah-tengah kegembiraan kaum muslimin atas tertangkapnya tokoh kesesatan tersebut, ada sekelompok kecil orang-orang yang mengatasnamakan umat Islam yang memprotes dan menyatakan secara terbuka ketidaksetujuan mereka, bahkan mengecam pemerintah dengan keras atas penangkapan tersebut. Diantaranya adalah sebuah forum yang menamakan diri Forum Umat Islam (FUI), yang mengklaim beranggotakan ormas-ormas Islam, diantaranya Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin, Jamaah Anshorut Tauhid, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Al Irsyad Al Islamiyyah, Front Perjuangan Islam Solo (FPIS), Majelis Tafsir Al Quran (MTA), Majelis Az Zikra, PP Daarut Tauhid, Hidayatullah, PII dan Wahdah Islamiyah yang berpusat di Makassar.

Bahkan salah seorang kader ormas yang disebut terakhir di atas, membuat tulisan dalam blog hitamnya yang berisi tuduhan-tuduhan keji dengan judul Bisnis Darah dan Nyawa Manusia dan Penangkapan Ustadz Ba’asyir dan Kehancuran NKRI. Sebelumnya juga, website resmi mereka di cabang Jogya telah menurunkan sebuah artikel untuk memprotes kebijakan pemerintah terhadap teroris dalam sebuah tulisan berjudul Menjustifikasi Kematian Teroris. Tidak ketinggalan pula Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), melalui juru bicaranya Muhammad Ismail Yusanto mengecam penangkapan Abu Bakar Ba’asyir (ABB).

Seperti apakah pandangan Islam atas tertangkapnya tokoh yang berpaham Teroris Khawarij? Bagaimana pula sikap Islam terhadap orang-orang yang membelanya? Catatan ringan ini insya Allah mencoba menghadirkan bukti-bukti ilmiah akan benarnya tindakan yang telah diambil oleh POLRI dan sekaligus sebagai bantahan atas kekeliruan sekelompok kecil orang-orang yang menyalahkan pemerintah atas penangkapan ABB.

Benarkah Abu Bakar Ba’asyir berpaham Teroris Khawarij?

Sebelum kita membuktikan benarnya tindakan penangkapan atas ABB (semoga insya Allah bisa dilanjutkan dengan penangkapan orang-orang yang semisal dengannya), tentunya kita harus membuktikan dulu bahwa pemahaman dan ajaran yang diamalkan dan disebarkan oleh ABB, kelompoknya dan jaringannya adalah ajaran sesat Teroris Khawarij.

Kami sebut sebagai ajaran Teroris, karena dampak dari ajaran-ajaran mereka bermuara pada aksi-aksi terorisme. Adapun penyebutan Khawarij, inilah sebenarnya akar kesesatan mereka. Khawarij adalah satu kelompok sesat yang akarnya telah ada di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan akan terus berlanjut sampai akhir zaman, hingga generasi terakhir mereka akan bergabung bersama Dajjal –wal’iyadzu billah-.

Akar Khawarij bermula dari protes terang-terangan atas nama “amar ma’ruf nahi munkar” oleh seorang yang bernama Dzul Khuwaisiroh terhadap kebijakan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam distribusi harta kekayaan negara, bahkan dia menuduh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak berlaku adil, sampai dia berkata, “Wahai Rasulullah, berlaku adillah”. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkata, “Celaka engkau, siapa lagi yang bisa berlaku adil jika aku tidak berlaku adil. Sungguh engkau celaka dan merugi jika aku tidak berlaku adil.” (HR. Muslim, no. 2505)

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:

يخرج من ضئضئ هؤلاء قومٌ يتلون كتاب الله رطباً لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية

“Sesungguhnya akan keluar dari orang ini satu kaum yang membaca Kitabullah (Al-Qur’an) dengan mudah, namun tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang meleset dari sasarannya.” (HR. Muslim, no. 2500)

Beliau juga bersabda:

ينشأ نشأ يقرءون القرآن لا يجاوز تراقيهم كلما خرج قرن قطع كلما خرج قرن قطع حتى يخرج في أعراضهم الدجال

“Akan muncul sekelompok pemuda yang (pandai) membaca Al-Qur‘an namun bacaan mereka tidak melewati kerongkongannya. Setiap kali muncul sekelompok dari mereka pasti tertumpas”. (Dalam satu riwayat Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Saya mendengar Rasulullah mengulang kalimat, “Setiap kali muncul sekelompok dari mereka pasti tertumpas” lebih dari 20 kali”). Hingga beliau bersabda, “Sampai muncul Dajjal dalam barisan mereka.” (HR. Ibnu Majah, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 8171)

Hadits ini menunjukkan bahwa eksistensi kelompok Khawarij akan tetap ada sampai akhir zaman. Berikut ini kami akan menyebutkan insya Allah, bukti-bukti ajaran ABB dan jaringannya adalah ajaran Teroris Khawarij:

Pertama: Mengkafirkan kaum muslimin, khususnya pemerintah muslim

Tidak terhitung lagi pernyataan Abu Bakar Ba’asyir dan kelompoknya yang menganggap kafir pemerintah muslim, bahkan sebuah web yang dibuat khusus untuk free ABB dengan tegas mengutip pernyataan jaringan mereka bahwa pemerintah Indonesia adalah pemerintah murtad. Demikian pula dalam khutbah Idul Adha 1430 H, ABB mengkafirkan para ulama dan penguasa-penguasa Arab dan menjuluki mereka sebagai thogut dan antek-antek zionis.

Inilah ciri Khawarij yang paling menonjol, yaitu pemahaman takfiri, mengkafirkan kaum muslimin yang pada zaman modern ini dihidupkan kembali oleh Sayid Qutb, tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, yang buku-bukunya banyak dikonsumsi oleh gerakan-gerakan Islam di tanah air. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan diantara sifat Khawarij adalah, “Mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka.” (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 3/355)

Padahal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan bahaya gegabah dan terburu-buru dalam mengkafirkan seorang muslim, beliau bersabda:

أيما امرئٍ قال لأخيه كافر فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال وإلا رجعت عليه

“Siapa saja berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka salah satu dari keduanya menjadi kafir. Jika yang dipanggil benar-benar kafir, jika tidak maka kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma)

Adapun bimbingan ulama Ahlus Sunnah dalam menghukumi seseorang atau sebuah pemerintahan dengan kekafiran atau murtad, adalah hak para ulama yang mendalam ilmunya, bukan anak-anak muda hasil binaan ABB, Abu Jibril, Aman Abdurrahman dan yang semisal dengan mereka, yang hanya bermodal semangat tanpa ilmu. Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata:

“Menghukumi seseorang telah murtad atau keluar dari agama Islam adalah kewenangan para ulama yang mendalam ilmunya, mereka adalah para qadhi di mahkamah syari’at dan para ahli fatwa yang diakui keilmuannya. Sebagaimana pula dalam permasalahan lainnya, berbicara dalam masalah seperti ini bukanlah hak setiap orang, bukan pula hak para penuntut ilmu atau yang menisbatkan diri kepada ilmu agama padahal pemahamannya tentang ilmu agama masih sangat terbatas.

Bukanlah hak mereka untuk menghukumi seseorang telah murtad, karena perbuatan tersebut akan melahirkan kerusakan. Bisa jadi mereka memvonis seseorang telah murtad padahal dia tidak murtad. Sedang mengkafirkan seorang muslim yang tidak melakukan salah satu pembatal keislaman sangat berbahaya. Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, “wahai kafir” atau “wahai fasik”, padahal dia tidak seperti itu maka perkataan itu kembali kepada orang yang mengucapkannya. Olehnya, yang berhak memvonis murtad hanyalah para qadhi syar’i dan ahli fatwa yang diakui keilmuannya. Adapun yang merealisasikan hukumnya adalah pemerintah kaum muslimin, selain itu hanya akan melahirkan kekacauan.” (Lihat Min Fatawa As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, softcopy dari www.sahab.net)

Pada kesempatan lain, ketika Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih Al-Fauzan hafizhahullah ditanya, “Apakah masih ada di zaman ini orang yang mengusung pemikiran Khawarij?” Baliau menjawab, “Subhanallah, mengkafirkan kaum muslimin, bukankah itu perbuatan Khawarij?! Bahkan lebih parah lagi, membunuh dan memusuhi kaum muslimin. Ini adalah mazhab Khawarij, yang terdiri dari tiga bagian. Pertama: Mengkafirkan kaum muslimin. Kedua: Keluar dari ketaatan kepada penguasa. Ketiga: Menumpahkan darah kaum muslimin. Ini adalah mazhab Khawarij, meskipun seseorang hanya meyakini dalam hati tanpa mengatakan atau melakukan aksi apa pun, dia telah menjadi seorang Khawarij dalam aqidah dan pemikirannya.” (Muhadharah: Ya Ahlal Haramain wa ‘Askaral Islam, Asy-Syaikh Sulthon Al-‘Ied hafizhahullah, hal. 6)

Kedua: Memahami Al-Qur’an dengan pemahaman Khawarij, bukan pemahaman Ahlus Sunnah

Inilah sebab utama penyimpangan Abu Bakar Ba’asyir dan kelompoknya yang kemudian melahirkan pemahaman takfiri dan sejumlah kesesatan lainnya. Diantaranya kesalahan fatal mereka dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)

Dengan modal pemahaman yang salah terhadap ayat inilah mereka mengkafirkan kaum muslimin, Al-Imam Al-Mufassir Al-Jasshash rahimahullah berkata:

“Khawarij mentakwikan ayat ini untuk mengkafirkan orang yang meninggalkan hukum Allah meskipun dia tidak mengingkari (hukum Allah tersebut).” (Lihat Ahkamul Qur’an, 2/534)

Adapun pemahaman Ahlus Sunnah, yaitu sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang dibina oleh beliau dan para ulama Ahlus Sunnah setelahnya adalah sebagai berikut:

Sahabat yang mulia Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan tafsir ayat di atas adalah, “Barangsiapa yang mengingkari hukum Allah maka dia kafir, adapun yang masih mengakuinya namun tidak berhukum dengannya maka dia zalim lagi fasik.” [Dikeluarkan oleh Ath-Thobari dalam Jami’ul Bayan (6/166), dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (6/114)]

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Bukan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam (yakni kufur asghar).” (Lihat Suaalat Ibni Hani’, 2/192)

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Kesimpulannya, barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah disertai pengingkaran terhadapnya, padahal dia tahu bahwa itu adalah hukum Allah, seperti yang dilakukan oleh Yahudi, maka dia kafir. Adapun orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah karena menuruti hawa nafsu tanpa disertai pengingkaran terhadapnya, maka dia zalim lagi fasik.” (Lihat Zadul Masir, 2/366)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Perkataan Salaf bahwa, “Bisa jadi dalam diri seseorang terdapat keimanan dan kemunafikan”, sama dengan perkataan mereka, “Pada dirinya ada keimanan dan kekafiran”, maka yang dimaksudkan adalah bukan kekafiran yang menyebabkan murtad, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas dan murid-murid beliau dalam menjelaskan firman Allah, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir” (Al-Maidah: 44), maksud ayat ini bukanlah kekafiran yang menyebabkan murtad. Pemahaman terhadap ayat ini kemudian diikuti oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama Ahlus Sunnah lainnya.” (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 7/312)

Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Yang benar dalam permasalahan ini adalah, sesungguhnya berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua bentuk kekafiran, yaitu kufur asghar (kecil) dan kufur akbar (besar), maka hukumnya tergantung keadaan pelakunya. Jika dia meyakini wajibnya berhukum dengan hukum Allah, hanya saja dia berpaling karena mempertututkan nafsu kemaksiatannya dengan tetap meyakini bahwa dia telah salah hingga berhak dihukum, maka yang seperti ini kufur asghar (tidak sampai murtad). Adapun jika dia meyakini bahwa tidak wajib berhukum dengan syari’at Allah, atau boleh memilih antara hukum syari’at dan hukum buatan manusia, padahal dia yakin bahwa itu memang hukum Allah, maka yang seperti ini kufur akbar (menyebabkan murtad). Akan tetapi jika dia jahil dan tersalah karena kejahilannya itu maka hukumnya sama dengan hukum kepada orang yang jahil (yakni dimaafkan dan diajarkan).” (Lihat Madarijus Salikin, 1/336)

Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati?

Ketiga: Memuji dan memberi semangat kepada pelaku aksi Teroris Khawarij

Setiap kali polisi berhasil membunuh atau menangkap teroris, ABB pun berkomentar bahwa mereka itu adalah mujahid bukan teroris. Tidak diragukan lagi, pujian-pujian ABB dan kelompoknya kepada para pelaku terorisme sebagai “mujahid” merupakan pembakar semangat bagi anak-anak muda yang miskin ilmu. Hal ini mengingatkan kita kepada salah satu sekte Khawarij yang bernama Al-Qa’adiyah, sebagaimana ABB yang mungkin sudah uzur untuk turun langsung “berjihad” namun masih menjadi motivator ulung untuk membakar semangat “mujahid” menjadi “pengantin surga”.

Demikian pula Al-Qa’adiyah, mereka tidak turun langsung berperang melawan pemerintah kaum muslimin, namun kerjaan mereka adalah memprovokasi kaum muslimin untuk memberontak.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Qa’adiyah memprovokasi pemberontakan kepada para penguasa, meskipun mereka tidak terlibat langsung.” [Lihat Hadyus Sari, oleh Al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah-, (hal. 459), sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, (hal. 20)]

Bahkan sekte Khawarij inilah sebenarnya yang paling berbahaya, karena dengan sebab ceramah-ceramah mereka kemudian orang-orang terprovokasi untuk menentang penguasa dan melakukan aksi-aksi terosisme. Abdullah bin Muhammad Adh-Dha’if rahimahullah berkata: “Kelompok Al-Qa’adiyah ini merupakan pecahan khawarij yang paling jelek!” [Riwayat Abu Dawud dalam Masaa’il Al-Imam Ahmad, (hal. 271), sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, (hal. 21)]

Keempat: Memberontak kepada pemerintah muslim, baik dengan demonstrasi, menyebarkan aib penguasa melalui mimbar-mimbar terbuka ataupun pernyataan di media masa, hingga membentuk organisasi yang menyerupai negara dalam negara

ABB dalam ceramah-ceramahnya selalu mengritik pemerintah Indonesia secara terang-terangan, demikian pula kelompok dan jaringannya tidak segan-segan untuk melakukan aksi-aksi demo melawan pemerintah. Padahal mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan di depan khalayak dengan demonstrasi dan orasi di mimbar-mimbar terbuka atau menulis artikel sebagai teguran kepada pemerintah di media massa adalah bentuk pemberontakan kepada penguasa yang dicontohkan oleh kaum Khawarij. Adapun tuntunan Islam dalam menasihati penguasa adalah dengan tidak menampakkannya kepada khalayak ramai, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa, Sebuah Renungan Bagi Para Pencela Pemerintah.

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah berkata, “Nasihat kepada penguasa secara rahasia merupakan salah satu pokok dari pokok-pokok Manhaj Salaf yang diselisihi oleh ahlul ahwa’ wal bida’, seperti Khawarij.”

Beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmulhafizhahullah-) juga menjelaskan bahwa menyebarkan aib-aib penguasa merupakan bentuk pertolongan kepada Khawarij dalam membunuh penguasa muslim, sehingga jelas bahwa pemberontakan itu tidak hanya dengan senjata, tapi juga dengan lisan.

Beliau berkata: “Hal tersebut dilarang karena bisa mengantarkan kepada perbuatan menumpahkan darah dan pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tabaqot, dari Abdullah bin Ukaim al-Juhani, bahwa beliau berkata:

“Aku tidak akan menolong pembunuhan seorang Khalifah selamanya setelah Utsman”, maka dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau telah membantu (Khawarij) dalam membunuh Utsman?” Maka beliau berkata, “Sungguh aku menganggap perbuatan membicarakan keburukan-keburukan beliau sebagai bentuk pertolongan kepada (Khawarij) dalam membunuhnya”.

Maka camkanlah baik-baik atsar ini, tatkala beliau menganggap pembicaraan tentang kejelekan-kejelekan penguasa termasuk perkara yang membantu pembunuhannya.”

Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah) memberikan komentar pada catatan kaki, “Atsar ini berfaedah pelajaran bahwa pemberontakan itu dapat terjadi dengan senjata (pedang), maupun dengan ucapan. Berbeda dengan pendapat (yang salah) bahwa pemberontakan itu tidak terjadi kecuali dengan senjata. Maka camkanlah ini baik-baik dan ingatlah selalu.”

Beliau juga menukil penegasan Asy-Syaikh Bin Bazrahimahullah-, “Bukan termasuk manhaj Salaf menelanjangi aib-aib penguasa dan membicarakannya di atas mimbar-mimbar, karena hal tersebut mengantarkan kepada kudeta dan ketidaktaatan masyarakat dalam hal yang ma’ruf kepada penguasa. Lebih dari itu, mengantarkan kepada pemberontakan yang hanya membahayakan dan tidak bermanfaat.” [Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah-, softcopy dari www.sahab.net]

Terlebih lagi membentuk organisasi yang menyerupai negara dalam negara, dimana para anggota menyebut pemimpinnya sebagai Amir, membuat aturan-aturan khusus yang harus ditaati dan anggotanya pun berjanji atau melakukan bai’at (sumpah setia) untuk mendengar dan taat kepada pemimpin tersebut sebagaimana layaknya ketaatan kepada seorang pemimpin negara. Lebih parah dari itu, apabila ada anggotanya keluar atau memisahkan diri dari kelompoknya maka mereka mengatakan kepadanya, “Anda telah keluar dari jama’ah”. Bahkan tidak jarang disertai dengan pengucilan dan pengkafiran anggota yang keluar dari jama’ah mereka.

Hal ini terjadi karena kebodohan mereka dalam memahami makna jama’ah yang ada dalam dalil-dalil syar’i. Mereka mengira bahwa jama’ah yang dimaksud adalah asal ngumpul lalu mengangkat seorang amir. Padahal jama’ah yang dimaksudkan adalah pemerintah kaum muslimin yang memiliki kekuatan dan wilayah kekuasaan. Oleh karena itu, langkah yang mereka tempuh dengan membentuk jama’ah dalam jama’ah adalah bentuk pemberontakan kepada pemimpin kaum muslimin.

Kelima: Menyerukan slogan-slogan Khawarij, yakni perkataan yang benar namun yang diinginkan dengannya adalah kebatilan

ABB dan kelompoknya di mana-mana selalu meneriakkan jihad dan penegakkan syari’at Islam, meskipun hakikatnya mereka tidak menerapkan syari’at itu dalam diri dan keluarga mereka. Seruan jihad dan penegakkan syari’at Islam adalah seruan yang mulia, namun yang mereka inginkan di balik seruan yang mulia tersebut sebenarnya adalah kebatilan. Sebab jihad mereka bukanlah jihad yang syar’i, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Nasihat Kepada Teroris, Ketahuilah Beda Jihad dengan Terorisme.

Demikian pula penegakkan syari’at yang mereka serukan adalah syari’at yang sesuai manhaj Khawarij, bukan manhaj Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Hal ini mengingatkan kita kepada Khawarij generasi awal yang diperangi oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Dimana Khawarij generasi awal pun meneriakkan slogan yang sama, yakni penegakkan syari’at Islam, seperti yang dituturkan oleh Ubaidullah bin Abi Rafi’ radhiyallahu’anhu berikut ini:

أن الحرورية لما خرجت على علي بن أبي طالب وهو معه فقالوا لا حكم إلا لله قال علي كلمة حق أريد بها باطلٌ إن رسول الله {صلى الله عليه وسلم} وصف لنا ناساً إني لأعرف صفتهم في هؤلاء يقولون الحق بألسنتهم لا يجاوز هذا منهم وأشار إلى حلقه

“Bahwasannya kaum Khawarij Haruriyah ketika memberontak kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mereka mengatakan, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah”. Maka Ali berkata, “Perkataan yang benar, namun yang diinginkan dengannya adalah kebatilan. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah menjelaskan kepadaku tentang ciri-ciri sekelompok orang yang telah aku tahu sekarang bahwa ciri-ciri tersebut ada pada mereka (Khawarij), yaitu mereka mengucapkan perkataan yang benar hanya dengan lisan-lisan mereka, namun tidak melewati kerongkongan mereka (yakni mereka tidak memahaminya).” (HR. Muslim, no. 2517)

Namun yang sangat mengherankan, ketika mereka butuh dengan hukum buatan manusia yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala, mereka pun tak segan-segan menggunakan jasa para pengacara yang setiap harinya berkecimpung dalam hukum-hukum hasil kerajinan tangan manusia dan peninggalan penjajah Belanda yang mereka kecam. Ini semua menunjukkan kebodohan mereka terhadap syari’at Allah Ta’ala.

Oleh karena itu kami nasihatkan kepada kaum muslimin, khususnya para pemuda, janganlah mudah tertipu dengan seruan-seruan jihad dan penegakkan syari’at yang selalu mereka dengung-dengungkan. Karena hakikatnya, mereka tidak memahami jihad dan penegakkan syari’at seperti yang dipahami Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau.

Demikian pula, jangan engkau tertipu dengan penampilan yang islami, seperti memelihara jenggot, menggunakan pakaian tanpa menutupi mata kaki dan istri-istri mereka menggunakan jilbab syar’i dan menggunakan cadar. Tidak diragukan lagi, ini semua merupakan bagian dari syari’at Islam, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Peringatan: Cadar, Celana Ngatung dan Cadar bukan Ciri-ciri Teroris.

Akan tetapi semua itu tidaklah berarti sama sekali bagi seseorang jika aqidahnya rusak, karena mengikuti aqidah sesat Khawarij. Inilah keadaan kaum Khawarij dahulu, sangat nampak keshalihan dan kuatnya ibadah mereka, namun sayang aqidah mereka menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan:

يخرج قومٌ من أمتي يقرءون القرآن ليس قراءتكم إلى قراءتهم بشيء ولا صلاتكم إلى صلاتهم بشيء ولا صيامكم إلى صيامهم بشيء

“Akan keluar satu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, dimana bacaan kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan bacaan mereka, demikian pula sholat kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sholat mereka, juga puasa kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan puasa mereka.” (HR. Muslim, no. 2516)

Perhatikanlah bagaimana hebatnya ibadah mereka, namun bersamaan dengan itu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan mereka adalah anjing-anjing neraka, sebagaimana dalam hadits berikut ini:

كلاب النار شر قتلى تحت أديم السماء خير قتلى من قتلوه

“Mereka adalah anjing-anjing neraka; seburuk-buruknya makhluk yang terbunuh di bawah kolong langit, sedang sebaik-baiknya makhluk yang terbunuh adalah yang dibunuh oleh mereka.” [HR. At-Tirmidzi, (no. 3000), dari Abu Umamah Al-Bahili -radhiyallahu’anhu-, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah, (no. 3554)]

Maka jelaslah, mengikuti aqidah dan pemahaman generasi As-Salafus Shalih, yaitu generasi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, adalah perkara yang sangat penting dalam kehidupan seorang hamba, agar selamat dari jeratan-jeratan kelompok sesat dan selamat dari adzab Allah Tabaraka wa Ta’ala di negeri akhirat.

Wallahul Musta’an.

Bersambung insya Allah Ta’ala…

[Alhamdulillah tulisan bagian pertama ini selesai menjelang buka puasa 13 Ramadhan 1431 H di Maktabah Asy-Syaikh Shalih bin Abdullah Al-Ghusn hafizhahullah di kota Riyadh, KSA. Kami ucapkan jazaakumullahu khairan kepada Asy-Syaikh Shalih dan kepada Al-Akh Abu Syakir Imam Syuhada Iskandar, murid Asy-Syaikh Shalih yang menjaga maktabah beliau. Tulisan ini sekaligus sebagai realisasi taubat kami dari pemahaman Khawarij yang dulu sempat kami yakini ketika bergabung dengan salah satu kelompok yang mengaku Ahlus Sunnah namun terjangkit virus Khawarij di kota Makassar, Indonesia].

Sumber: http://nasihatonline.wordpress.com/2010/08/23/perang-terhadap-teroris-khawarij-bukan-perang-terhadap-islam/
read more - PERANG TERHADAP TERORIS KHAWARIJ BUKAN PERANG TERHADAP ISLAM

Friday, August 20, 2010

Ramadhan di Jogja

Bismillah,,

Assalamu'alaikum teman-teman semuanyaaa..

Tak terasa kita sudah memasuki hari ke-10 bulan Ramadhan yang merupakan bulan penuh berkah, bulan penuh maghfiroh. Sudah puaskah dengan amalan-amalan yang telah kita lakukan sepuluh hari ini?? Hmm, sudah dapat berapa jus tadarusnya? Telah kita ketahui bersama bahwa Al Qur'an diturunkan pada bulan Ramadhan. Pada bulan ini sangat disyariatkan untuk memperbanyak bacaan Al Qur'an. Sungguh sangatlah besar keutamaan membaca Al Qur'an di antaranya berdasarkan hadist Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam.
Dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu : Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

« اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه »

“Bacalah oleh kalian Al-Qur`an. Karena ia (Al-Qur`an) akan datang pada Hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafa’at bagi orang-orang yang rajin membacanya.” [HR. Muslim 804]

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang memperhatikan Al-Qur`an, yaitu dengan rajin membacanya, menghafalnya, mendengarnya dengan serius, diam ketika dibacakan kepadanya, mempelajarinya, mengajarkannya, mengingatnya, dan mentadabburinya. Terutama pada bulan Ramadhan yang mulia ini. Dan semoga kita tidak termasuk orang-orang yang meninggalkan Al-Qur`an.

Selain memperbanyak tadarus Al Qur'an, menghadiri majelis-majelis 'ilmu merupakan perkara yang sangat baik. Beruntung saya menghabiskan awal-awal Ramadhan ini di Jogja. Di sini ada kajian intensif yang diselenggarakan oleh Panitia kajian Islam (Pakis) Jogja yaitu dari tanggal 12-24 Agustus 2010 setiap pukul 09.00-dzuhur Insya Allah.

Materi dan pematerinya adalah:
1. Fiqih Shiyam, Qiyamu Ramadhan, dan I'tikaf dengan rujukan Kitab Bulughul Maram oleh Ustadz Abu 'Ubaidah Syafrudin,
2. Tafsir Surah Al Fatihah dengan rujukan Kitab Tafsir Karim Ar-Rahman oleh Ustadz Abu Ishaq 'Abdullah,
3. Menjaga kemurnian Ikhlas dengan rujukan Kitab Riyadhus Shalihin oleh Ustadz Abu Bakr 'Abdurrahman,
4. jalan Menuju Taubat dengan rujukan Kitab Riyadhus Shalihin oleh Ustadz Abu 'Abdirrahman 'Abdulhaq.
Wah, menarik banget kan, sayang sekali untuk dilewatkan begitu saja. Kajiannya bertempat di Masjid Pogung Raya, Sleman. (Sepertinya agak telat saya menginformasikan, heehee.. tinggal 4 hari lagi!)

Buat teman-teman yang bermukim atau hanya sekedar singgah di Jogja, manfaatkan kesempatan ini. Buat teman-teman yang bermukim di luar Jogja bisa mengunduh rekaman kajiannya. Bisa melalui link berikut ini
http://ber.ilmoe.com/download-kajian/users/atstsurayya/Dauroh-Ramadhan-Jogja-1431H/

atau melalui
http://www.ilmoe.com/


Kitabnya bisa didowload di sini
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/atstsurayya/Ebook/Kitab-Dauroh-Romadhon.zip

Pamletnya bisa dilihat di sini
http://www.lite.facebook.com/photo.php?pid=328712&fbid=1169696658014&op=1&o=global&view=global&subj=100000072573357&id=1695900188



Wassalamu'alaikum warahmatullah.
read more - Ramadhan di Jogja

Tuesday, August 3, 2010

Nasihat Untuk Kaum Muslimin Menyambut Bulan Ramadhan


Bismillah,

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
(mufti agung Saudi ‘Arabia)

بسم الله والحمد لله وصلى الله على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن اهتدى بهداه، أما بعد:

Sesungguhnya aku menasehatkan kepada saudaraku-saudaraku kaum muslimin di mana pun berada terkait dengan masuknya bulan Ramadhan yang penuh barakah tahun 1413 H ini [1] dengan taqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, berlomba-lomba dalam seluruh bentuk kebaikan, saling menasehati dengan al haq, dan bersabar atasnya, at-ta’awun (saling membantu) di atas kebaikan dan taqwa, serta waspada dari semua perkara yang diharamkan Allah dan dari segala bentuk kemaksiatan di manapun berada. Terlebih lagi pada bulan Ramadhan yang mulia ini, karena ia adalah bulan yang agung.



Amalan-amalan shalih pada bulan itu dilipatgandakan (pahalanya), dosa dan kesalahan akan terampuni bagi siapa saja yang berpuasa dan mendirikannya (dengan amalan-amalan kebajikan) dengan penuh keimanan dan rasa harap (akan keutamaan dari-Nya), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan rasa harap, maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Al Bukhari 2014 dan Muslim 760)

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam

إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِيْنُ.

Jika telah masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu Al Jannah akan dibuka, pintu-pintu Jahannam akan ditutup, dan para syaitan akan dibelenggu.

(HR. Al Bukhari 1899 dan Muslim 1079)

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :

الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ : إِنِّيْ صَائِمٌ.

Puasa itu adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengucapkan ucapan kotor, dan jangan pula bertindak bodoh, jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa. (HR. Al Bukhari 1904)

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam

يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ، تَرَكَ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِيْ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ، فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ، وَلَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ عِنْدَ اللهِ أَطْيَبُ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Semua amalan anak Adam untuknya, setiap satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya, kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, Aku yang akan membalasnya. Karena seorang yang berpuasa telah meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena Aku. Bagi seorang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan: gembira ketika berbuka, dan gembira ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut seorang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih wangi daripada minyak wangi misk. (HR. Al Bukhari 1904 dan Muslim 1151)

Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira kepada para shahabatnya dengan masuknya bulan Ramadhan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada mereka:

أتاكم شهر رمضان شهر بركة، ينزل الله فيه الرحمة، ويحط الخطايا، ويستجيب الدعاء، ويباهي الله بكم ملائكته ، فأروا الله من أنفسكم خيرا ؛ فإن الشقي من حرم فيه رحمة الله

Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh barakah. Allah menurunkan padanya rahmah, menghapus kesalahan-kesalahan, mengabulkan do’a, dan Allah membanggakan kalian di hadapan para malaikat-Nya, maka perlihatkanlah kepada Allah kebaikan dari diri-diri kalian, sesungguhnya orang yang celaka adalah orang yang diharamkan padanya rahmat Allah. (Dalam Majma’ Az-Zawa`id Al-Haitsami menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir)

Dan beliau ‘Alaihish Shalatu Wassalam bersabda

من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan yang haram dan mengamalkannya, ataupun bertindak bodoh, maka Allah tidak butuh dengan upaya dia dalam meninggalkan makan dan minumnya. (HR Al Bukhari dalam Shahihnya).

Hadits-hadits tentang keutamaan bulan Ramadhan dan dorongan untuk memperbanyak amalan di dalamnya sangatlah banyak.

Maka aku juga mewasiatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin untuk istiqmah pada siang dan malam-malam bulan Ramadhan dan berlomba-lomba dalam segala bentuk amalan kebaikan, di antaranya adalah memperbanyak qira’ah (membaca) Al Qur’anul Karim disertai dengan tadabbur (upaya mengkajinya) dan ta’aqqul (upaya memahaminya), memperbanyak tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan istighfar, serta memohon kepada Allah Al Jannah, berlindung kepada-Nya dari An Nar, dan do’a-do’a kebaikan yang lainnya.

Sebagaimana aku wasiatkan juga kepada saudara-saudaraku untuk memperbanyak shadaqah, membantu para fakir miskin, peduli untuk mengeluarkan zakat dan menyalurkannya kepada yang berhak menerimanya, disertai juga dengan kepedulian untuk berdakwah ke jalan Allah subhanahu, memberikan pengajaran kepada orang jahil, dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang lembut, hikmah, dan metode yang baik, disertai juga dengan sikap hati-hati dari segala bentuk kejelekan, dan senantiasa bertaubat dan istiqmah di atas al-haq dalam rangka mengamalkan firman-Nya subhanahu:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An Nur: 31)

Dan firman-Nya ‘Azza wa Jalla :

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka tetap istioqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni Al Jannah, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (Al Ahqaf: 13-14)

Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq bagi semuanya kepada perkara-perkara yang diridhai-Nya, dan mudah-mudahan Allah melindungi semuanya dari kesesatan (yang disebabkan) fitnah dan gangguan-gangguan setan. Sesungguhnya Dia Maha Dermawan lagi Maha Mulia.

[1] Nasehat ini disampaikan pada 1413 H. namun karena isi nasehat ini tidak pernah kadaluwarsa dan senantiasa relevan maka kami tampilkan kembali meskipun sudah berlalu 7 tahun yang lalu

http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1777
read more - Nasihat Untuk Kaum Muslimin Menyambut Bulan Ramadhan

Mengkritisi Bid'ah


Bismillah,
Muadz bin Jabal mengatakan, “Akan datang suatu fitnah yang mana harta menjadi melimpah ruah. Al Qur’an dibuka hingga dibaca oleh lelaki dan wanita, anak kecil dan orang tua, mukmin dan munafik. Seseorang pun membacanya tapi tidak diikuti. Dia pun berkata, ‘Demi Allah, aku membacanya dengan terang-terangan,’ masih juga belum diikuti. Lalu dia pergi ke suatu masjid dan mengucapkan ucapan bid’ah yang tidak ada di dalam Kitabullah ataupun sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah darinya karena itu adalah bid’ah yang sesat! Berhati-hatilah darinya karena itu adalah bid’ah yang sesat! (HR. Ath – Thabarani)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali memulai khutbah beliau dengan mengucapkan:
أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد - صلى الله عليه وسلم - ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل بدعة ضلالة
“Amma ba’d.: Sesungguhnya ucapan yang terbaik adalah Kitabullah, petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad, perkara yang paling buruk adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim dari sahabat Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma)
Di dalam hadist ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan vonis kepada ‘perkara yang diada-adakan’ sebagai perkara yang paling buruk dan bid’ah sebagai perkara yang sesat. Nah, apakah sebenarnya ‘bid’ah’ dan ‘perkara yang diada-adakan’ yang divonis sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini? Marilah kita sejenak mencermati makna hadist yang mulia di depan.

Pengertian Bid’ah
Bid’ah secara etimologis (bahasa) berarti sesuatu yang baru dan tidak ada contohnya sebelumnya. Dengan makna ini Allah telah berfirman:
“Allah adalh badii’ langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah 117; Al An’am 101). Yang dimaksud ‘badii’’ adalah yang menciptakan keduanya tanpa ada yang semisal itu sebelumnya.

Allah juga telah berfirman:
“Katakanlah, ‘Aku bukanlah bid’an di antara Rasul-Rasul.’” (QS. Al Ahqaf:9). Yakni, aku (Muhammad) bukanlah orang pertama yang datang dengan risalah dari Allah kepada hamba-Nya, tetapi telah mendahuluiku banyak Rasul.
Adapun dari segi terminologis syariat (istilah), bid’ah –seperi dikatakan oleh Imam Asy Syathibi- adalah “Suatu cara dalam agama yang dibuat-buat dan menyerupai cara syariat, diinginkan dengan melaksankannya untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.” Dengan pengertian ini, kita dapat menyimpulkan bahwa bid’ah adalah sesuatau yang dibuat-buat di dalam agama dengan tata cara yang menyerupai cara yang digunakan oleh syariat dan orang melakukan hal ini bertujuan untuk beribadah kepada Allah berdasarkan persangkaan bahwa ia akan mendapatkan martabat yang paling sempurna di akhirat kelak. Nah, bid’ah dari sisi pandang syariat inilah yang banyak disebutkan celaannya dalam banyak hadist dan ucapan para ulama terdahulu.

Bid’ah Dalam Kaca Mata Syariat
Bid’ah di dalam perkara agama merupakan kesesatan dan tertolak secra mutlak. Hal ini telah disebutkan dalam banyak dalil baik dalam Al Qur’an maupun hadist-hadist. Juga, bid’ah telah banyak dicela oleh para sahabat Nabi, para tabi’in, serta para ulama yang mengikuti jalan mereka.

Di antara dalil Al Qur’an –kami hanya menyebutkan sebagian saja karena keterbatasan ruang- adalah firman Allah ta’ala:
‘Qashdu as-Sabil yang dimaksud dalam ayat ini adalah jalan yang benar, dan jalan yang selain dari jalan ini adalah jalan yang keluar dari kebenaran di mana ia merupakan jalan-jalan bid’ah dan kesesatan. At-Tustury mengatakan, “Qashdu as-Sabil adalah as Sunnah (jalan yang ditempuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan ‘minha ja’ir (di antara jalan yang bengkok) adalah jalan menuju neraka dan itu jalannya setiap agama (selain islam) dan bid’ah.”

Ulama tabi’in, Mujahid bin Jabr, mengatakan “Qashdu as-Sabil yakni sikap pertengahan/adil di antara sikap berlebihan dan meremehkan.” Dari sini, bisa ditarik kesimpulan bahwa ‘ja’ir’ adalah sikap berlebihan atau mengurang-ngurangi, dan kedua sifat ini adalah sifat dari kebid’ahan.

Sedangkan dalil dari hadist di antaranya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat-buat perkara yang baru dalam agama kami ini, maka hal itu tertolak.” (HR. Al Bukhari dan Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad)
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka hal itu tertolak.” (HR. Muslim, Ahmad)

Dalam dua hadist yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa segala amalan yang dibuat-buat dalam agama ini (bid’ah) baik sebagai pencetus maupun hanya mengikuti orang lain, maka amalannya tidak mendapat pahala.

Dalil dari hadist yang lain adalah sabda Nabi yang telah ada di awal tulisan ini, “Perkara yang paling buruk adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim dari sahabat Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma). Di dalam hadist ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela perkara-perkara yang baru dalam agama (bid’ah) dan mengecapnya sebagai kesesatan dan perkara yang paling jelek.

Para Sahabat Menyikapi Bid’ah
Para sahabat adalah generasi terbaik dari umat yang terbaik di sisi Allah. Mereka hidup di kurun waktu yang Allah telah jamin kebaikannya. Allah berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” [At-Taubah: 100]

Mereka adalah penyambung dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, bagaimana sikap mereka terhadap bid’ah?
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ikutilah dan jangan membuat kebid’ahan, sungguh kalian telah dicukupkan.”
Seorang sahabat yang merupakan anak dari salah seorang Khulafa’ur Rasyidin, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menegaskan, “Setiap bid’ah (dalam agama) adalah sesat, meski orang-orang menganggap hal itu adalah baik.”

Di samping ucapan-ucapan mereka yang mengecam keras bid’ah, kisah mereka juga mencerminkan sikap mereka terhadap bid’ah. Sebuah kisah berharga diriwayatkan dari seorang sahabat mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Kisah ini berlatar pada pagi hari di zaman sahabat, belum begitu lama dari wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berikut ini jalan ceritanya. Waktu itu, seorang sahabat mulia, Abu Musa Al-Asy’ari datang tergopoh-gopoh hendak menemui Ibnu Mas’ud untuk melaporkan kepada beliau suatu perkara yang besar. Setelah bertemu Ibnu Mas’ud, Abu Musa mengatakan, “Wahai Abu Abdurrahman (panggilan kehormatan Ibnu Mas’ud), saya baru saja melihat di masjid suatu perkara yang sebenarnya saya ingkari, namun saya tidak melihatnya –Alhamdulillah- kecuali itu merupakan hal yang baik.” Abu Musa melanjutkan, “Saya melihat di masjid orang-orang duduk-duduk berkelompok untuk menunggu shalat. Di setiap kelompok ada pemimpinnya, di tangan-tangan mereka terdapat batu kerikil. Pemimpinnya mengatakan, “Bertakbirlah seratus kali!” Mereka pun bertakbir seratus kali. “Bertahlillah seratus kali!” Mereka pun bertahlil seratus kali. “Bertasbihlah seratus kali!” Mereka pun bertasbih seratus kali,” lapor Abu Musa. Singkat cerita, Ibnu Mas’ud pun pergi menuju perkumpulan tersebut, lalu beliau mengatakan, “Apa yang sedang kalian lakukan ini?” Mereka mengatakan, “Wahai Abu Abdurrahman, ini adalah kerikil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih.” Ibnu Mas’ud pun menimpali, “Hitunglah saja kejelakan kalian, aku menjamin bahwa kebaikan kalian tidak akan ada yang berkurang sedikitpun. Kasihan kalian umat Muhammad! Betapa cepat kebinasaan kalian. Para sahabat Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam masih banyak yang hidup, baju beliau pun juga belum rusak, demikian pula tempat minum beliau belum juga pecah. Demi Dzat Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, apakah kalian ini berada di atas ajaran yang lebih berpetunjuk daripada agama Muhammad, ataukah kalian ini pembuka pintu kesesatan?!”

“Kami tidak menginginkan kecuali kebaikan,” tandas mereka. Ibnu MAs’ud menimpali jawab ini, “Berapa banyak orang menginginkan kebaikan tetapi dia tidak mendapatkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan kepadaku bahwa suatu saat ada kaum yang membaca Al Qur’an tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka (hanya membaca saja, tidak sampai dihayati ataupun diamalkan), demi Allah! Aku tidak tahu, jangan-jangan mayoritas dari mereka berasal dari golongan kalian.” Beliau pun berpaling dari mereka. Ternyata dalam perang Nahrawan orang-orang ini justru termasuk orang yang memerangi kaum muslimin. (HR. Ad Darimi dengan sanad shahih)

Teman-teman yang dimuliakan Allah, lihatlah bahwa apa yang mereka lakukan ‘hanya’ bertasbih, bertahlil, dan bertakbir serempak dengan menggunakan kerikil, bahkan sempat disangka sebagai perkara yang baik oleh Abu Musa. Akan tetapi, hal ini tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Maka dari itu, Ibnu Mas’ud, salah seorang ulama sahabat, memberikan pengingkaran dengan hebat kepada mereka, dan mengatakan bahwa keinginan yang baik saja tidak cukup untuk melakukan amalan, namun perlu juga dilandasi mutaba’ah (meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Inilah sekelumit dari cerminan sikap para sahabat terhadap bid’ah. Mereka melakukan hal ini dikarenakan mereka mengetahui bahwa mengamalkan bid’ah adalah kerugian besar. Melakukan sesuatu yang memberatkan diri, namun tiada pahala yang diraih. Hali ini seperti halnya seseorang yang berada di tengah gurun, mengharapkan adanya mata air, lalu melihat fatamorgana yang menggiurkan, tapi ternyata hal itu hanyalah kosong belaka. Sunggguh, ini merupakan kerugian yang sangat nyata bagi orang yang berakal.

Bid’ah Hasanah
Saudara-saudaraku yang mulia, sebagian orang berpendapat bahwa bid’ah dalam syariat ini bisa dibagi menjadi dua: bid'ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang jelek). Mereka menganggap bahwa dalil-dalil yang mencela bid’ah ditujukan kepada bid’ah sayyi’ah, sedang bid’ah hasanah dibolehkan dalam agama, bahkan disarankan. Anggapan ini tentunya keliru. Marilah kita simak sebagian argumen mereka.

1. Khalifah Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata saat melihat orang berkumpul melakukan shalat tarawih secara berjama’ah:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Ini bid’ah yang paling baik.” (HR. al Bukhari)
Sekilas, penggalan ucapan Umar ini memberikan pengertian bahwa bid’ah ada yang baik dan ada yang jelek. Benarkah pengertian ini? Jawabnnya adalah tidak. Marilah kita cermati bersama bahwa ucapan ini muncul dari Umar tatkala beliau melihat orang-orang melakukan shalat tarawih secara berjama’ah. Perlu diketahui bahwa shalat tarawih bukanlah merupakan tambahan yang diada-adakan dalam agama. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya saat beliau masih hidup. Beliau pernah mengimami sahabat shalat tarawih selama tiga hari, namun beliau tidak meneruskan mengimami para sahabat karena takut hal ini menjadi wajib hukumnya bagi umat beliau. Di mana, terkadang suatu ibadah yang pada awalnya sunnah, namun turun wahyu mewajibkan hal tersebut dikarenakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukannya. Maka, beliau takut hal itu akan memberatkan umatnya.

Oleh karena itu, beliau bersabda:
“Aku telah melihat apa yang kalian lakukan, dan tiada sesuatu yang menghalangiku untuk keluar mengimami kalian kecuali aku takut hal ini akan diwajibkan bagi kalian. (HR. Al Bukhari no 1129 dan Muslim)
Sehingga, saat kemungkinan turunnya wahyu untuk mewajibkan hal itu (shalat tarawih) sudah hilang dengan diwafatkannya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Umar pun menghidupkan sunnah ini dengan mengumpulkan orang-orang dalam satu jama’ah. Dengan ini, kita pun mengetahui bahwa sebutan ‘bid’ah’ yang diucapkan Umar untuk shalat tarawih adalah bid’ah dari segi bahasa, bukan bid’ah dari segi syariat, di mana itulah yang tercela.

2. Argumen mereka yang lain adalah tentang pembukuan Al Qur’an dan hadist. Mereka mengatakan bahwa hal ini belum pernah diperintahkan oleh Allah di dalam Al Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadist beliau.

Jawaban dari argumen ini adalah bahwasanya Allah telah mengisyaratkan dituliskannya Al Qur’an, seperti di dalam firman-Nya:
Penyebutan ‘kitab’ (yang berarti sesuatu yang ditulis) mengandung isyarat bahwa Al Qur’an haknya adalah ditulis. Ayat yang semisal ini banyak jumlahnya.
Adapun hadist, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah diminta untuk menuliskan khutbah yang beliau ucapkan, beliau pun bersabda:
“Tuliskan untuk Abu Syah (nama sahabat yang meminta hal itu).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadist ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan untuk menulis sabda beliau. Selain itu, sebagian sahabat beliau juga ada yang menulis hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau masih hidup, seperti Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash. Nah, ini semua menunjukkan bahwa penulisan Al Qur’an dan hadist bukanlah bid’ah.

3. Sebagian orang berdalih, “Bukannya motor, mobil, komputer, dan penemuan mutakhir yang lain merupakan bid’ah? Kalau begitu, kalian jangan menggunakannya.”
Jawaban dari pernyataan ini sederhana. Benar, itu semua merupakan bid’ah. Tapi bid’ah dari sisi bahasa, bukan bid’ah dari sisi syariat yang dilarang. Maka, hendaknya kita renungkan definisi bid’ah dalam agama agar tidak keliru dalam memahami.

Perlu pula kita ketahui bahwa bid’ah itu lebih berbahaya dari kemaksiatan. Seseorang yang bermaksiat dia akan merasa takut dan melakukannya dengan sembunyi-sembunyi atau melarikan diri setelah berbuat. Sedangkan pelaku bid’ah semakin tenggelam dalam kebid’ahannya dia akan semakin merasa yakin bahwa dia di atas kebenaran. Satu lagi, bid’ah itu adalah posnya (pengantar kepada) kekufuran.
Wallahu a’lam. Semoga Allah tetap membimbing kita mendapatkan hidayah dan taufik-Nya serta menyelamatkan diri dan keluarga kita dari bid’ah ini.

Teman-teman yang semoga dimuliakan Allah, agama Islam ini telah Allah sempurnakan seakan satu tubuh yang sempurna. Tubuh ini tidak lagi memerlukan adanya tambahan ataupun pengurangan. Jika tubuh ini bertambah jumlah anggota tubuhnya –misal memiliki tiga buah tangan- maka tidaklah tubuh itu dikatakan sempurna. Sehingga, agama ini tidak memerlukan bid’ah. Justru, bid’ah ini akan mengurangi kesempurnaan Islam.
Marilah kita renungkan suatu ayat yang Allah turunkan sebelum Dia mewafatkan Nabi-Nya.

Marilah kita upayakan diri kita melaksanakan ibadah wajib dan sunnah di dalam agam ini. Sunguh, ibadah-ibadah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tuntunkan sangatlah banyak sehingga kita tidak perlu menambah-nambahinya dan memberat-beratkan diri kita dengan ibadah yang tidak beliau tuntunkan.
Semoga Allah ta’ala menerima ibadah kita semua dikarenakan keikhlasan kita dalam beribadah kepada-Nya dan mengikuti petunjuk nabi-Nya. Amin ya mujibas sa’ilin. Allahu a’lam bish shawab.
Barakallahufiikum.

Disalin dari bulletin Asy Syariah dengan beberapa penambahan.
read more - Mengkritisi Bid'ah