Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahlan wa sahlan di dunia 'Baru Belajar'
love

Tuesday, August 3, 2010

Mengkritisi Bid'ah


Bismillah,
Muadz bin Jabal mengatakan, “Akan datang suatu fitnah yang mana harta menjadi melimpah ruah. Al Qur’an dibuka hingga dibaca oleh lelaki dan wanita, anak kecil dan orang tua, mukmin dan munafik. Seseorang pun membacanya tapi tidak diikuti. Dia pun berkata, ‘Demi Allah, aku membacanya dengan terang-terangan,’ masih juga belum diikuti. Lalu dia pergi ke suatu masjid dan mengucapkan ucapan bid’ah yang tidak ada di dalam Kitabullah ataupun sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah darinya karena itu adalah bid’ah yang sesat! Berhati-hatilah darinya karena itu adalah bid’ah yang sesat! (HR. Ath – Thabarani)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali memulai khutbah beliau dengan mengucapkan:
أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد - صلى الله عليه وسلم - ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل بدعة ضلالة
“Amma ba’d.: Sesungguhnya ucapan yang terbaik adalah Kitabullah, petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad, perkara yang paling buruk adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim dari sahabat Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma)
Di dalam hadist ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan vonis kepada ‘perkara yang diada-adakan’ sebagai perkara yang paling buruk dan bid’ah sebagai perkara yang sesat. Nah, apakah sebenarnya ‘bid’ah’ dan ‘perkara yang diada-adakan’ yang divonis sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini? Marilah kita sejenak mencermati makna hadist yang mulia di depan.

Pengertian Bid’ah
Bid’ah secara etimologis (bahasa) berarti sesuatu yang baru dan tidak ada contohnya sebelumnya. Dengan makna ini Allah telah berfirman:
“Allah adalh badii’ langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah 117; Al An’am 101). Yang dimaksud ‘badii’’ adalah yang menciptakan keduanya tanpa ada yang semisal itu sebelumnya.

Allah juga telah berfirman:
“Katakanlah, ‘Aku bukanlah bid’an di antara Rasul-Rasul.’” (QS. Al Ahqaf:9). Yakni, aku (Muhammad) bukanlah orang pertama yang datang dengan risalah dari Allah kepada hamba-Nya, tetapi telah mendahuluiku banyak Rasul.
Adapun dari segi terminologis syariat (istilah), bid’ah –seperi dikatakan oleh Imam Asy Syathibi- adalah “Suatu cara dalam agama yang dibuat-buat dan menyerupai cara syariat, diinginkan dengan melaksankannya untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.” Dengan pengertian ini, kita dapat menyimpulkan bahwa bid’ah adalah sesuatau yang dibuat-buat di dalam agama dengan tata cara yang menyerupai cara yang digunakan oleh syariat dan orang melakukan hal ini bertujuan untuk beribadah kepada Allah berdasarkan persangkaan bahwa ia akan mendapatkan martabat yang paling sempurna di akhirat kelak. Nah, bid’ah dari sisi pandang syariat inilah yang banyak disebutkan celaannya dalam banyak hadist dan ucapan para ulama terdahulu.

Bid’ah Dalam Kaca Mata Syariat
Bid’ah di dalam perkara agama merupakan kesesatan dan tertolak secra mutlak. Hal ini telah disebutkan dalam banyak dalil baik dalam Al Qur’an maupun hadist-hadist. Juga, bid’ah telah banyak dicela oleh para sahabat Nabi, para tabi’in, serta para ulama yang mengikuti jalan mereka.

Di antara dalil Al Qur’an –kami hanya menyebutkan sebagian saja karena keterbatasan ruang- adalah firman Allah ta’ala:
‘Qashdu as-Sabil yang dimaksud dalam ayat ini adalah jalan yang benar, dan jalan yang selain dari jalan ini adalah jalan yang keluar dari kebenaran di mana ia merupakan jalan-jalan bid’ah dan kesesatan. At-Tustury mengatakan, “Qashdu as-Sabil adalah as Sunnah (jalan yang ditempuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan ‘minha ja’ir (di antara jalan yang bengkok) adalah jalan menuju neraka dan itu jalannya setiap agama (selain islam) dan bid’ah.”

Ulama tabi’in, Mujahid bin Jabr, mengatakan “Qashdu as-Sabil yakni sikap pertengahan/adil di antara sikap berlebihan dan meremehkan.” Dari sini, bisa ditarik kesimpulan bahwa ‘ja’ir’ adalah sikap berlebihan atau mengurang-ngurangi, dan kedua sifat ini adalah sifat dari kebid’ahan.

Sedangkan dalil dari hadist di antaranya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat-buat perkara yang baru dalam agama kami ini, maka hal itu tertolak.” (HR. Al Bukhari dan Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad)
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka hal itu tertolak.” (HR. Muslim, Ahmad)

Dalam dua hadist yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa segala amalan yang dibuat-buat dalam agama ini (bid’ah) baik sebagai pencetus maupun hanya mengikuti orang lain, maka amalannya tidak mendapat pahala.

Dalil dari hadist yang lain adalah sabda Nabi yang telah ada di awal tulisan ini, “Perkara yang paling buruk adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim dari sahabat Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma). Di dalam hadist ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela perkara-perkara yang baru dalam agama (bid’ah) dan mengecapnya sebagai kesesatan dan perkara yang paling jelek.

Para Sahabat Menyikapi Bid’ah
Para sahabat adalah generasi terbaik dari umat yang terbaik di sisi Allah. Mereka hidup di kurun waktu yang Allah telah jamin kebaikannya. Allah berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” [At-Taubah: 100]

Mereka adalah penyambung dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, bagaimana sikap mereka terhadap bid’ah?
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ikutilah dan jangan membuat kebid’ahan, sungguh kalian telah dicukupkan.”
Seorang sahabat yang merupakan anak dari salah seorang Khulafa’ur Rasyidin, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menegaskan, “Setiap bid’ah (dalam agama) adalah sesat, meski orang-orang menganggap hal itu adalah baik.”

Di samping ucapan-ucapan mereka yang mengecam keras bid’ah, kisah mereka juga mencerminkan sikap mereka terhadap bid’ah. Sebuah kisah berharga diriwayatkan dari seorang sahabat mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Kisah ini berlatar pada pagi hari di zaman sahabat, belum begitu lama dari wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berikut ini jalan ceritanya. Waktu itu, seorang sahabat mulia, Abu Musa Al-Asy’ari datang tergopoh-gopoh hendak menemui Ibnu Mas’ud untuk melaporkan kepada beliau suatu perkara yang besar. Setelah bertemu Ibnu Mas’ud, Abu Musa mengatakan, “Wahai Abu Abdurrahman (panggilan kehormatan Ibnu Mas’ud), saya baru saja melihat di masjid suatu perkara yang sebenarnya saya ingkari, namun saya tidak melihatnya –Alhamdulillah- kecuali itu merupakan hal yang baik.” Abu Musa melanjutkan, “Saya melihat di masjid orang-orang duduk-duduk berkelompok untuk menunggu shalat. Di setiap kelompok ada pemimpinnya, di tangan-tangan mereka terdapat batu kerikil. Pemimpinnya mengatakan, “Bertakbirlah seratus kali!” Mereka pun bertakbir seratus kali. “Bertahlillah seratus kali!” Mereka pun bertahlil seratus kali. “Bertasbihlah seratus kali!” Mereka pun bertasbih seratus kali,” lapor Abu Musa. Singkat cerita, Ibnu Mas’ud pun pergi menuju perkumpulan tersebut, lalu beliau mengatakan, “Apa yang sedang kalian lakukan ini?” Mereka mengatakan, “Wahai Abu Abdurrahman, ini adalah kerikil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih.” Ibnu Mas’ud pun menimpali, “Hitunglah saja kejelakan kalian, aku menjamin bahwa kebaikan kalian tidak akan ada yang berkurang sedikitpun. Kasihan kalian umat Muhammad! Betapa cepat kebinasaan kalian. Para sahabat Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam masih banyak yang hidup, baju beliau pun juga belum rusak, demikian pula tempat minum beliau belum juga pecah. Demi Dzat Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, apakah kalian ini berada di atas ajaran yang lebih berpetunjuk daripada agama Muhammad, ataukah kalian ini pembuka pintu kesesatan?!”

“Kami tidak menginginkan kecuali kebaikan,” tandas mereka. Ibnu MAs’ud menimpali jawab ini, “Berapa banyak orang menginginkan kebaikan tetapi dia tidak mendapatkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan kepadaku bahwa suatu saat ada kaum yang membaca Al Qur’an tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka (hanya membaca saja, tidak sampai dihayati ataupun diamalkan), demi Allah! Aku tidak tahu, jangan-jangan mayoritas dari mereka berasal dari golongan kalian.” Beliau pun berpaling dari mereka. Ternyata dalam perang Nahrawan orang-orang ini justru termasuk orang yang memerangi kaum muslimin. (HR. Ad Darimi dengan sanad shahih)

Teman-teman yang dimuliakan Allah, lihatlah bahwa apa yang mereka lakukan ‘hanya’ bertasbih, bertahlil, dan bertakbir serempak dengan menggunakan kerikil, bahkan sempat disangka sebagai perkara yang baik oleh Abu Musa. Akan tetapi, hal ini tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Maka dari itu, Ibnu Mas’ud, salah seorang ulama sahabat, memberikan pengingkaran dengan hebat kepada mereka, dan mengatakan bahwa keinginan yang baik saja tidak cukup untuk melakukan amalan, namun perlu juga dilandasi mutaba’ah (meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Inilah sekelumit dari cerminan sikap para sahabat terhadap bid’ah. Mereka melakukan hal ini dikarenakan mereka mengetahui bahwa mengamalkan bid’ah adalah kerugian besar. Melakukan sesuatu yang memberatkan diri, namun tiada pahala yang diraih. Hali ini seperti halnya seseorang yang berada di tengah gurun, mengharapkan adanya mata air, lalu melihat fatamorgana yang menggiurkan, tapi ternyata hal itu hanyalah kosong belaka. Sunggguh, ini merupakan kerugian yang sangat nyata bagi orang yang berakal.

Bid’ah Hasanah
Saudara-saudaraku yang mulia, sebagian orang berpendapat bahwa bid’ah dalam syariat ini bisa dibagi menjadi dua: bid'ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang jelek). Mereka menganggap bahwa dalil-dalil yang mencela bid’ah ditujukan kepada bid’ah sayyi’ah, sedang bid’ah hasanah dibolehkan dalam agama, bahkan disarankan. Anggapan ini tentunya keliru. Marilah kita simak sebagian argumen mereka.

1. Khalifah Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata saat melihat orang berkumpul melakukan shalat tarawih secara berjama’ah:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Ini bid’ah yang paling baik.” (HR. al Bukhari)
Sekilas, penggalan ucapan Umar ini memberikan pengertian bahwa bid’ah ada yang baik dan ada yang jelek. Benarkah pengertian ini? Jawabnnya adalah tidak. Marilah kita cermati bersama bahwa ucapan ini muncul dari Umar tatkala beliau melihat orang-orang melakukan shalat tarawih secara berjama’ah. Perlu diketahui bahwa shalat tarawih bukanlah merupakan tambahan yang diada-adakan dalam agama. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya saat beliau masih hidup. Beliau pernah mengimami sahabat shalat tarawih selama tiga hari, namun beliau tidak meneruskan mengimami para sahabat karena takut hal ini menjadi wajib hukumnya bagi umat beliau. Di mana, terkadang suatu ibadah yang pada awalnya sunnah, namun turun wahyu mewajibkan hal tersebut dikarenakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukannya. Maka, beliau takut hal itu akan memberatkan umatnya.

Oleh karena itu, beliau bersabda:
“Aku telah melihat apa yang kalian lakukan, dan tiada sesuatu yang menghalangiku untuk keluar mengimami kalian kecuali aku takut hal ini akan diwajibkan bagi kalian. (HR. Al Bukhari no 1129 dan Muslim)
Sehingga, saat kemungkinan turunnya wahyu untuk mewajibkan hal itu (shalat tarawih) sudah hilang dengan diwafatkannya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Umar pun menghidupkan sunnah ini dengan mengumpulkan orang-orang dalam satu jama’ah. Dengan ini, kita pun mengetahui bahwa sebutan ‘bid’ah’ yang diucapkan Umar untuk shalat tarawih adalah bid’ah dari segi bahasa, bukan bid’ah dari segi syariat, di mana itulah yang tercela.

2. Argumen mereka yang lain adalah tentang pembukuan Al Qur’an dan hadist. Mereka mengatakan bahwa hal ini belum pernah diperintahkan oleh Allah di dalam Al Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadist beliau.

Jawaban dari argumen ini adalah bahwasanya Allah telah mengisyaratkan dituliskannya Al Qur’an, seperti di dalam firman-Nya:
Penyebutan ‘kitab’ (yang berarti sesuatu yang ditulis) mengandung isyarat bahwa Al Qur’an haknya adalah ditulis. Ayat yang semisal ini banyak jumlahnya.
Adapun hadist, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah diminta untuk menuliskan khutbah yang beliau ucapkan, beliau pun bersabda:
“Tuliskan untuk Abu Syah (nama sahabat yang meminta hal itu).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadist ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan untuk menulis sabda beliau. Selain itu, sebagian sahabat beliau juga ada yang menulis hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau masih hidup, seperti Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash. Nah, ini semua menunjukkan bahwa penulisan Al Qur’an dan hadist bukanlah bid’ah.

3. Sebagian orang berdalih, “Bukannya motor, mobil, komputer, dan penemuan mutakhir yang lain merupakan bid’ah? Kalau begitu, kalian jangan menggunakannya.”
Jawaban dari pernyataan ini sederhana. Benar, itu semua merupakan bid’ah. Tapi bid’ah dari sisi bahasa, bukan bid’ah dari sisi syariat yang dilarang. Maka, hendaknya kita renungkan definisi bid’ah dalam agama agar tidak keliru dalam memahami.

Perlu pula kita ketahui bahwa bid’ah itu lebih berbahaya dari kemaksiatan. Seseorang yang bermaksiat dia akan merasa takut dan melakukannya dengan sembunyi-sembunyi atau melarikan diri setelah berbuat. Sedangkan pelaku bid’ah semakin tenggelam dalam kebid’ahannya dia akan semakin merasa yakin bahwa dia di atas kebenaran. Satu lagi, bid’ah itu adalah posnya (pengantar kepada) kekufuran.
Wallahu a’lam. Semoga Allah tetap membimbing kita mendapatkan hidayah dan taufik-Nya serta menyelamatkan diri dan keluarga kita dari bid’ah ini.

Teman-teman yang semoga dimuliakan Allah, agama Islam ini telah Allah sempurnakan seakan satu tubuh yang sempurna. Tubuh ini tidak lagi memerlukan adanya tambahan ataupun pengurangan. Jika tubuh ini bertambah jumlah anggota tubuhnya –misal memiliki tiga buah tangan- maka tidaklah tubuh itu dikatakan sempurna. Sehingga, agama ini tidak memerlukan bid’ah. Justru, bid’ah ini akan mengurangi kesempurnaan Islam.
Marilah kita renungkan suatu ayat yang Allah turunkan sebelum Dia mewafatkan Nabi-Nya.

Marilah kita upayakan diri kita melaksanakan ibadah wajib dan sunnah di dalam agam ini. Sunguh, ibadah-ibadah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tuntunkan sangatlah banyak sehingga kita tidak perlu menambah-nambahinya dan memberat-beratkan diri kita dengan ibadah yang tidak beliau tuntunkan.
Semoga Allah ta’ala menerima ibadah kita semua dikarenakan keikhlasan kita dalam beribadah kepada-Nya dan mengikuti petunjuk nabi-Nya. Amin ya mujibas sa’ilin. Allahu a’lam bish shawab.
Barakallahufiikum.

Disalin dari bulletin Asy Syariah dengan beberapa penambahan.

No comments:

Post a Comment

Pastikan Anda menyertakan nama dan URL/username Anda agar tidak masuk spam.