Al Qur’an
merupakan petunjuk hidup manusia, kemurniannya akan tetap terjaga hingga hari
kiamat nanti. Dapat membaca dan memahami Al Qur’an dalam bahasanya yang asli
(bahasa Arab) merupakan keinginan bagi tiap-tiap muslim. Namun, tidak semua
orang mempunyai kemampuan dan kesempatan yang sama sehingga keinginan tersebut
tidak dapat dicapai oleh setiap umat muslim. Ayat-ayat dalam Al Qur’an ada yang
bersifat muhkamaat (terang dan jelas artinya) dan ada pula yang mutasyaabihaat
(kurang terang dan kurang jelas artinya). Oleh karena itu, dalam menafsirkan
ayat dalam Al Qur’an, haruslah berpedoman pada pemahaman salafus shalih, tidak
boleh serampangan menta’wilkan sesuai akal dan nafsu kita. Sebagai contoh yaitu
ayat ke-256 dalam Surat Al Baqarah berikut ini.
256. Tidak ada paksaan dalam agama... (QS. Al Baqarah: 256)
Berkata
Syaikh Fauzan: “Bukan berarti kaum kafir dibiarkan begitu saja dan tidak
diperangi. Merupakan bentuk kedustaan kepada Allah jika mereka beranggapan
manusia bebas beraqidah.”
Berikut ini merupakan pendapat ulama ahlu
tafsir mengenai ayat tersebut:
- Ayat tersebut turun dan konteksnya dipahami pada awal-awal Islam turun, yaitu pada saat di Mekah, manusia tidak dipaksa untuk masuk Islam. Setelah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk hijrah ke Habasyah, Madinah barulah ada paksaan untuk masuk Islam dan memerangi kaum kafir.
- Sebagian ahlu tafsir mengatakan bahwa ayat tersebut untuk kaum Yahudi dan Nashrani, yaitu tidak ada paksaan dengan catatan harus membayar upeti (jizyah) yang dipungut oleh pemerintah Islam dan mereka harus tunduk pada hukum Islam. Namun, tetap didakwahi walaupun tidak dipaksa.
- Ayat
tersebut khusus untuk kaum Yahudi dan Nashrani. Sebagian
mereka ada yang masuk Islam tetapi mereka menghalangi keturunan-keturunannya
untuk masuk Islam karena ada paksaan (mereka beralasan bahwa mereka dahulu
dipaksa untuk masuk Islam. pen) sehingga turunlah ayat tersebut.
Pemikiran
bahwa bebas dalam beragama dengan berdalil dengan ayat tersebut adalah salah
dan bathil. Penjelasan “tidak ada paksaan dalam agama” harus dihubungkan dengan ayat-ayat yang lain.
56. dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz Dzaariyat: 56)
Dalam QS. Adz Dzaariyat: 56 terdapat hikmah
peciptaan jin dan manusia yaitu untuk beribadah hanya kepada Allah. Untuk
menjelaskan hikmah tersebut, Allah mengutus Rasul dan Nabi untuk menyeru umat
manusia kepada Allah, juga Allah menurunkan kitab-kitab. Allah tidak
memerintahkan sesuatu, melarang sesuatu, dan menurunkan syariat kecuali padanya
ada hikmah, maslahah, kebaikan, dan tujuan. [1]
Coba kita
simak kelanjutan dari ayat dalam QS Al Baqarah: 256.
256. tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[2] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah: 256)3. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (QS. Al Maidah: 3)2. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali Imran: 2)36. sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. (QS. An Nisa’: 36)
Kesimpulan:
Kebebasan
beragama dan kebebasan berpendapat adalah bathil dan tidak ada dalilnya sama
sekali. Jika dipelajari secara seksama, seluruh ayat-ayat Al Qur’an mengandung
maksud dorongan untuk masuk kepada agama Islam.
Syaikh
Fauzan mengatakan bahwa penjelasan tersebut adalah ahwal mufassirun, walaupun
tidak ada rujukan tetapi boleh menyimpulkan dari penjelasan para ulama.
Bertanyalah
kepada ahlu dzikr dalam hal-hal yang tidak kamu ketahui. Seseorang walaupun
berada di bawah bimbingan ulama, bisa jadi ia secara personal terjatuh dalam
kesalahan, apalagi yang tidak terbimbing? Hanya saja kesalahan orang yang
berada di bawah bimbingan ulama bisa langsung diketahui oleh para ulama
sehingga masih bisa dicegah atau belum terlaksana.
“Belajarlah dengan giat sebelum disibukkan dengan urusan cabang-cabang”
"Alhamdulillah 'alaa nikmatil islam wa sunnah"
Allohu a’lam
[1] faidah dari
Al Ustadz Abdulhaq hafidzahullah, Ahad 12 Desember 2010 di Masjid Alhasanah,
Terban, Yogyakarta.
[2] Thaghut
ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah subhanahu wata'ala.
Sumber:
Petikan ta’lim bersama Al Ustadz Syafruddin hafidzahullah pada hari Ahad, 4
Juli 2010 di Masjid Alhasanah, Terban, Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment
Pastikan Anda menyertakan nama dan URL/username Anda agar tidak masuk spam.