Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahlan wa sahlan di dunia 'Baru Belajar'
love

Tuesday, December 2, 2014

KAMAR KESEDIHAN


Bismillah
Dahulu aku memiliki seorang teman yang sangat aku sukai karena keutamaan dan adabnya. Kalau melihatnya aku pasti merasakan kesejukan. Hati ini menjadi lembut karena memandangnya. Aku berteman dengannya untuk waktu yang lama. Tak satu hal pun yang aku ingkar dari dirinya. Begitu pula, dia tidak mengingkari sesuatupun dariku.
Hingga akhirnya, aku meninggalkan kota Kairo di Mesir untuk waktu yang lama. Maka kami pun saling berkirim surat. Tak lama setelah itu, surat-surat darinya berhenti. Berita yang kudengar tentangnya membuatku ragu dan bimbang. Kemudian aku kembali ke kota Kairo. Keinginan terbesarku adalah ingin melihat temanku itu. Aku segera mencarinya di tempat-tempat yang dahulu kami biasa saling bertemu. Namun, aku tidak berhasil menemukannya. Pencarian kulanjutkan ke rumahnya. Para tetangga mengatakan bahwa temanku itu telah lama pergi meninggalkan tempat tersebut. Mereka tidak mengetahui lagi kemana tempat tinggalnya sekarang. Dalam sekejap, aku telah berada di antara rasa keputusasaan dan harapan. Seketika itu, aku telah yakin bahwa aku kehilangan temanku. Tidak ada harapan lagi bagiku untuk menemukannya kembali.
Di tempat itu, tak terasa air mataku meleleh. Sebuah tetesan air mata yang tidak akan mengalir melainkan dari seorang yang sedikit saja memiliki rasa persahabatan, yang sedikit saja memiliki rasa kasihan dan iba kepadanya. Hingga dia pun menjadi tujuan dari tujuan-tujuan hari itu. Tidak ada yang terlewatkan dari sebuah hari melainkan mengingatnya. Rasa sakit karena mengingatnya pun selalu datang silih berganti.
Suatu saat, ketika aku pulang ke rumah pada suatu malam di akhir bulan, ketidaktahuanku terhadap jalan di tengah kegelapan malam yang begitu pekat menjadikanku tersesat ke arah sebuah lorong sempit nan asing. Seorang yang memandang tempat tersebut di saat-saat seperti itu pasti akan segera pergi meninggalkannya. Di pertengahan malam yang aku yakin bahwa tempat tersebut adalah tempat jin dan makhluk halus. Aku merasa seperti masuk ke dalam laut yang begitu hitam dan gelap, yang sedang naik di antara dua gunung yang tinggi menjulang besar. Seolah ombak dan gelombangnya maju dan mundur ke arahku, serta menaikkan dan menurunkanku. Hingga tak terasa aku telah berada di tengah-tengah gelapnya tempat itu. Tiba-tiba dari sebuah rumah di antara rumah-rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya, aku mendengar suara rintihan dan ratapan. Sebuah rintihan yang berulang-ulang di pertengahan malam. Rintihan itu diikuti oleh rintihan berikutnya.  Ya, silih berganti suara itu berdatangan. Aku pun merinding mendengarkannya. Bulu kudukku bediri semua. Aku sangat ketakutan.
“Aneh sekali. Berapa lama malam seperti ini tersembunyi dalam dadanya dari hati orang yang kesedihan,” gumamku dalam hati. Padahal hari sebelumnya aku telah berjanji kepada Allah untuk tidak ingin melihat orang yang sedih atau menangis melainkan aku harus berada di depannya untuk bisa menolong dan membantunya jika aku memang mampu.  
              Aku segera mencari jalan ke arah sumber suara itu. Akhirnya aku sampai juga ke rumah yang dimaksud. Pintu kuketuk lirih. Namun pintu itu tidak dibuka. Kali ini pintu kuketuk dengan keras. Seorang gadis kecil –umurnya belum mencapai tahun kesepuluh- membuka pintu. Dari sorot lampu lilin redup yang dipegangnya, aku mengamati gadis cilik ini. Ternyata pakaian yang dikenakan compang-camping. Pakaian itu telah lusuh dan sobek di banyak tempat. Seolah itu seperti bulan purnama di balik gumpalan-gumpalan awan.
“Apakah ada orang sakit di keluarga kalian?” tanyaku kepada si gadis.
Seketika itu napas panjang ditariknya sambil menangis keras hingga tali jantungnya seakan-akan hampir putus.
“Ayahku sedang sekarat. Ia hampir meninggal.” jawab si gadis dalam tangisnya.
Ia pun berjalan di depanku. Aku segera mengikutinya di belakang. Aku terus berjalan di belakang gadis itu hingga sampailah aku di sebuah kamar. Kamar itu memiliki pintu sempit namun tinggi. Kamar dengan pintu kecil itu segera kumasuki. Tiba-tiba aku seakan berpindah dari alam kehidupan nyata ke alam kematian. Aku melihat kamar itu seperti lubang kubur. Sedangkan orang yang sakit itu seolah seonggok mayit yang terbujur kaku.
Aku segera mendekat ke arahnya. Hingga aku berdiri di sampingnya. Ternyata tulang-tulang orang itu telah mengerut. Sedangkan napasnya terengah-engah. Sementara angin tak henti-hentinya bertiup lembut di kamar kayu itu. Lalu aku meletakkan telapak tanganku ke dahi orang itu. Ia segera membuka kedua matanya. Kemudian ia memandangi wajahku. Pandangannya begitu lama. Sedikit demi sedikit ia mulai membuka kedua bibirnya. Lalu dengan suara lirih, ia mengatakan, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Kini aku telah menemukan temanku.”
Mendengar ucapan itu, hatiku segera berjalan-jalan ke bagian dada dengan penuh ketakutan dan kegelisahan. Pikiran dan ingatanku segera melayang terbang kepada temanku yang telah hilang. Hingga aku benar-benar yakin bahwa secara tidak sengaja aku telah menemukan temanku yang telah lama menghilang itu. Ya, dialah teman yang dahulu aku berjanji agar tidak bertemu dengannya sedang dia telah berada di jalan menjelang kematian. Seorang teman yang aku tidak ingin kesedihan yang terpendam dalam hati dan terkubur di antara tulang-tulang rusukku kembali terbuka.
Aku segera menanyakan kondisinya. Aku juga menanyakan keadaan yang dialaminya sekarang ini. Seolah keramahannya kepadaku kembali bersinar dari lampu kehidupannya yang telah redup dan kini sedikit bercahaya terkena cahaya. Ia memberi isyarat kepadaku untuk duduk. Tanganku segera kulayangkan ke arahnya. Aku menguatkan dan melebarkan tanganku hingga akhirnya ia bisa duduk tegak. Lalu ia segera menceritakan kisah yang dialaminya.
Berikut ini penuturan temanku:
Selama sepuluh tahun aku dan ibuku tinggal di sebuah rumah. Di samping rumah tersebut tinggallah salah seorang tetangga kami. Ia adalah orang kaya. Kehidupannya penuh kenikmatan. Di dalam istana megah dan mewahnya hiduplah seorang gadis perawan yang begitu cantik dan menawan seperti istana yang dihuninya. Aku tergila-gila kepada gadis cantik itu. Saking cintanya, aku tidak bisa bersabar kepadanya. Tak henti-hentinya aku berusaha untuk mendapatkan cintanya. Namun ia menolaknya. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Aku berupaya untuk merebut hati dan perhatiannya. Sayang, ia mengelaknya. Dengan segala cara aku mencoba untuk masuk ke dalam sanubari kecilnya. Akan tetapi, aku tidak bisa sampai kepadanya.
Hingga suatu ketika aku bisa mendapatkan jalan keluar. Aku berjanji untuk menikahinya. Aku mendekatinya. Usahaku mulai menyentuh hawa nafsu gadis itu. Aku berhasil merobohkan kekuatannya. Aku segera merebut hatinya. Dan dalam sehari kesucian dan kehormatannya segera kurenggut. Tidak lama setelah itu aku mengetahui bahwa dirinya memiliki penyakit asma. Aku pun kecewa dan putus asa. Kini aku berada di antara dua pilihan, berusaha untuk menunaikan janjiku ataukah aku akan memutuskan tali cintaku kepadanya. Hingga akhirnya aku memilih pilihan kedua. Dengan segera aku meninggalkan rumah yang engkau kunjungi ini. Aku tidak lagi kembali ke rumah itu. Hingga akhirnya sedikitpun aku tidak mengetahui kabar tentangnya. Beberapa tahun telah berlalu dari peristiwa tersebut hingga datanglah sepucuk surat dari wanita itu melalui pos.
Temanku itu lalu menjulurkan tangannya ke bawah bantal. Kemudian dengan cepat ia menunjukkan surat yang dimaksud. Surat tersebut telah using dan menguning. Aku segera membaca surat tersebut. Berikut ini isinya:
Kalau seandainya aku menulis surat ini dalam rangka untuk memperbaharui janji dahulu atau membuka kembali cinta lama kita, maka aku tidak akan menulis satu baris. Satu huruf pun tidak. Karena sesungguhnya aku yakin sebuah janji seperti janjimu yang penuh pengkhianatan atau sebuah sebuah rasa kasih seperti rasa kasih dusta nan palsu darimu, tidaklah pantas untuk dirayakan sehingga aku harus mengingat-ingat serta mengenangnya kembali, dan tidak pantas pula untuk kusesali sehingga aku harus meminta untuk diperbaharui.
Sungguh, engkau telah tahu ketika engkau meninggalkanku bahwa di antara kedua perutku telah terdapat api yang menyala-nyala, telah terdapat janin yang sudah bergerak-gerak, itu semua penyesalan untuk yang sudah berlalu dan kekhawatiran terhadap masa depan. Namun semua itu tidak engkau perhatikan. Engkau justru menelantarkan diriku. Sampai-sampai engkau tidak mau menoleh kepada belahan jiwamu, yang merupakan hasil darimu. Engkau juga tidak mau berusaha untuk mengusap air mata yang telah engkau alirkan. Maka setelah itu, apakah aku bisa menggambarkan bahwa dirimu itu adalah seorang yang mulia? Bahkan aku tidak bisa menggambarkan bahwa dirimu itu adalah seorang manusia. Karena tidaklah engkau meninggalkan satu kesempatan dari berbagai kesempatan dalam jiwa yang jauh atau bencana yang menakutkan melainkan engkau mengumpulkannya di dalam jiwamu. Dan semua itu engkau tampakkan dalam satu penampakan.
Engkau telah dusta ketika engkau mengaku mencintai diriku. Tidaklah engkau mencintai selain dirimu sendiri. Semua hal yang engkau lihat dari diriku hanyalah untuk memuaskan nafsumu saja. Kebetulan engkau bertemu diriku untuk memuaskan nafsumu itu. Kalau bukan hal tersebut, pasti engkau tidak akan mengetuk pintu rumahku. Engkau juga tidak akan memandang wajahku.
Engkau telah menipuku. Engkau telah mengkhianatiku dalam janjimu untuk menikahiku. Engkau telah mengingkari janjimu dengan alasan jiwamu tidak ingin menikahi wanita pendosa atau wanita yang belum dewasa. Tidaklah wanita itu pendosa, bukan pula wanita itu belum dewasa melainkan semua itu hanyalah rekayasa tanganmu dan buat-buatan jiwa serta nafsumu. Kini aku menjadi seorang terhina dan yang teriris-iris hatinya. Hidup terasa begitu berat. Kematian terasa masih sangat lama. Apakah masih ada kenikmatan bagi seorang wanita yang tidak bisa menjadi istri bagi seorang laki-laki? Tidak pula ada kenikmatan bagi wanita yang tidak bisa menjadi seorang ibu bagi anaknya! Bahkan tidak ada kenikmatan bagi wanita yang tidak bisa hidup di tenga-tengah masyarakat dan pergaulan manusia, melainkan dalam pergaulannya ia selalu menundukkan kepala, menurunkan kelopak matanya, dan merendahkan pipinya. Semua persendiannya gemetar dan menggigil. Penyakit asmanya menimbulkan suara. Wanita itu berada dalam ketakutan untuk ditelantarkan dan dijadikan bahan ejekan maupun olokan.
Engkau telah merampas kebahagiaanku. Karena setelah peristiwa itu, aku terpaksa harus meninggalkan istana itu. Sebuah istana yang dahulu aku hidup dalam kesenangan dan kenikmatan hidup bersama ayah dn ibuku. Lalu aku lari meninggalkan semua kenikmatan melimpah dan kehidupan mewah itu menuju rumah hina nan rendah di sebuah desa yang telah ditinggalkan oleh penduduknya, yang tidak diketahui lagi oleh seorang pun, yang pintunya tidak pernah diketuk. Dalam rumah itu aku habiskan masa mudaku dari sisa-sisa hidupku.
Engkau telah membunuh ayah dan ibuku. Aku tahu bahwa keduanya telah meninggal. Dan aku yakin kematian keduanya karena kesedihan yang menimpa mereka berdua atas kehilangan diriku dan keputusasaan untuk bisa bertemu dengan diriku lagi.
Engkau juga telah membunuh diriku. Karena sesungguhnya kehidupan pahit yang aku teguk dari gelasmu, angan-angan panjang yang aku dapatkan karena dirimu, telah mencapai puncaknya pada badan dan jiwaku. Hingga aku menjadi seorang wanita yang terbaring di atas tempat tidur kematian. Kini aku ibarat sumbu sebuah lampu yang terbakar, yang sedikit demi sedikit napasnya habis menyambut kematian. Aku yakin bahwa Allah akan menolongku dan mengabulkan doaku. Aku yakin Allah akan memindahkanku dari negeri kematian dan kesengsaraan menuju negeri kehidupan dan kebahagiaan. Sementara dirimu adalah pendusta dan pengkhianat, engkau adalah perampok dan pembunuh. Aku yakin Allah tidak akan membiarkanmu tanpa mengambilkan hakku darimu.
Tidaklah aku menulis surat ini dalam rangka untuk menagih janjimu. Tidak pula untuk mengobarkan kembali rasa cinta itu. Karena di mataku, engkau terlalu hina dan terlalu rendah untuk semua itu. Sungguh, kini aku telah berada di pintu kubur. Tak lama lagi aku akan meninggalkan semua kehidupan dunia ini, kebaikannya, keburukannya, kebahagiaannya, maupun kesengsaraannya. Aku sudah tidak lagi mengharapkan rasa cintamu. Tidak lagi aku menginginkan janjimu. Aku menulis surat ini hanya karena engkau memiliki tinggalan yang ada pada diriku, yaitu anak hasil perbuatanmu. Kalau yang mendorongmu untuk datang adalah kasih sayang yang muncul dari hatimu, dan engkau bisa hidup dengannya sebagai seorang ayah yang mencintainya, maka terimalah anak tersebut agar ia tidak mendapatkan kesengsaraan sebagaimana yang telah dirasakan oleh ibunya sebelum dirinya.
Begitu selesai membaca surat tersebut, aku segera memandang dan menoleh ke arah temanku. Aku melihat air matanya kembali meleleh melalui kedua pipinya.
“Lalu apa yang terjadi setelah itu?” tanyaku kepadanya.
“Sungguh, tidaklah ketika aku selesai membaca surat tersebut melainkan semua anggota badanku merinding. Semuanya menggigil dan bergetar. Aku merasa bahwa dadaku ini seperti hendak terbelah dari hatiku karena rasa pedih dan ketakutan. Maka dengan segera aku mendatangi rumah wanita tersebut yang tidak lain adalah rumah yang engkau lihat sekarang ini. Aku melihat wanita itu berada di dalam kamar ini, di atas tempat tidur ini. Badannya terbujur kaku tidak bergerak. Sementara itu aku melihat putrinya berada di sampingnya tak henti-hentinya menangis kesedihan dan kepahitan. Seketika itu aku pingsan melihat ngerinya pemandangan yang aku lihat. Aku tak sadarkan diri. Seluruh kejahatanku masuk ke dalam baying-bayang dalam pingsanku. Seolah-olah semua kejahatan itu menjadi hewan buas yang mematikan. Ya, ia seperti singa-singa yang siap menerkam. Satu singa mencakarkan kuku-kukunya. Singa yang lainnya lagi menajamkan taringnya. Begitu aku sadar dari pingsan hingga aku berjanji kepada Allah untuk tidak meninggalkan kamar ini. kamar yang aku namai sebagai kamar kesedihan. Aku tidak akan meninggalkannya hingga aku merasakan hidup seperti hidup yang dirasakan wanita itu dan agar aku mati dengan kematiannya. Maka sekarang ini, pada hari ini, aku akan mati dengan penuh keridhaan dan kebahagiaan.
Begitu sampai pada kisah ini, lisan temanku langsung terbungkam, wajahnya menjadi muram. Ia pun terhempas ke dipannya. Nyawanya meregang sambil mengatakan, “Tolong engkau rawat putriku, wahai temanku!”
Setelah peristiwa itu, aku tinggal sejenak di rumah temanku untuk menunaikan kewajiban yang harus ditunaikan kepada seorang teman. Kemudian aku menulis surat yang aku tujukan kepada semua teman-teman dan orang-orang yang mengenalnya. Tidaklah terlihat sebuah hari yang lebih banyak tangisan dari para lelaki maupun wanita seperti hari itu.
Ketika kami melemparkan tanah di atas kuburnya
Kami semua takut, akan tetapi waktu apakah yang pantas untuk ditakuti       
Allah mengetahui bahwa aku menuliskan kisahnya. Aku tidak bisa menguasai dan mengendalikan diriku untuk tidak menangis dan meratap. Aku tidak akan melupakan pesan yang disampaikan oleh temanku itu, yaitu ketika ia menitipkan jiwa kehidupan. Ya, aku tidak akan melupakan ucapannya, “Tolong engkau rawat putriku, wahai temanku!”
Maka, wahai para lelaki yang memiliki hati kuat! Bersikap lembutlah kalian semua kepada para wanita yang memiliki jiwa lemah. Sesungguhnyan kalian semua tidak mengetahui hati apa yang kalian buat sedih dan air mata apa yang kalian tumpahkan, ketika kalian mengkhianati kehormatan dan kesucian mereka.

Diambil dari buku 100 Kisah Tragis Orang-Orang Zalim karya Hani Al Hajj

No comments:

Post a Comment

Pastikan Anda menyertakan nama dan URL/username Anda agar tidak masuk spam.