Bismillah
Dahulu aku
memiliki seorang teman yang sangat aku sukai karena keutamaan dan adabnya. Kalau
melihatnya aku pasti merasakan kesejukan. Hati ini menjadi lembut karena
memandangnya. Aku berteman dengannya untuk waktu yang lama. Tak satu hal pun
yang aku ingkar dari dirinya. Begitu pula, dia tidak mengingkari sesuatupun
dariku.
Hingga akhirnya,
aku meninggalkan kota Kairo di Mesir untuk waktu yang lama. Maka kami pun
saling berkirim surat. Tak lama setelah itu, surat-surat darinya berhenti. Berita
yang kudengar tentangnya membuatku ragu dan bimbang. Kemudian aku kembali ke
kota Kairo. Keinginan terbesarku adalah ingin melihat temanku itu. Aku segera
mencarinya di tempat-tempat yang dahulu kami biasa saling bertemu. Namun, aku
tidak berhasil menemukannya. Pencarian kulanjutkan ke rumahnya. Para tetangga
mengatakan bahwa temanku itu telah lama pergi meninggalkan tempat tersebut. Mereka
tidak mengetahui lagi kemana tempat tinggalnya sekarang. Dalam sekejap, aku
telah berada di antara rasa keputusasaan dan harapan. Seketika itu, aku telah
yakin bahwa aku kehilangan temanku. Tidak ada harapan lagi bagiku untuk
menemukannya kembali.
Di tempat itu,
tak terasa air mataku meleleh. Sebuah tetesan air mata yang tidak akan mengalir
melainkan dari seorang yang sedikit saja memiliki rasa persahabatan, yang
sedikit saja memiliki rasa kasihan dan iba kepadanya. Hingga dia pun menjadi
tujuan dari tujuan-tujuan hari itu. Tidak ada yang terlewatkan dari sebuah hari
melainkan mengingatnya. Rasa sakit karena mengingatnya pun selalu datang silih
berganti.
Suatu saat,
ketika aku pulang ke rumah pada suatu malam di akhir bulan, ketidaktahuanku
terhadap jalan di tengah kegelapan malam yang begitu pekat menjadikanku
tersesat ke arah sebuah lorong sempit nan asing. Seorang yang memandang tempat
tersebut di saat-saat seperti itu pasti akan segera pergi meninggalkannya. Di pertengahan
malam yang aku yakin bahwa tempat tersebut adalah tempat jin dan makhluk halus.
Aku merasa seperti masuk ke dalam laut yang begitu hitam dan gelap, yang sedang
naik di antara dua gunung yang tinggi menjulang besar. Seolah ombak dan gelombangnya
maju dan mundur ke arahku, serta menaikkan dan menurunkanku. Hingga tak terasa
aku telah berada di tengah-tengah gelapnya tempat itu. Tiba-tiba dari sebuah
rumah di antara rumah-rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya, aku mendengar
suara rintihan dan ratapan. Sebuah rintihan yang berulang-ulang di pertengahan
malam. Rintihan itu diikuti oleh rintihan berikutnya. Ya, silih berganti suara itu berdatangan. Aku pun
merinding mendengarkannya. Bulu kudukku bediri semua. Aku sangat ketakutan.
“Aneh sekali. Berapa
lama malam seperti ini tersembunyi dalam dadanya dari hati orang yang kesedihan,”
gumamku dalam hati. Padahal hari sebelumnya aku telah berjanji kepada Allah
untuk tidak ingin melihat orang yang sedih atau menangis melainkan aku harus berada
di depannya untuk bisa menolong dan membantunya jika aku memang mampu.
Aku segera mencari jalan ke arah sumber
suara itu. Akhirnya aku sampai juga ke rumah yang dimaksud. Pintu kuketuk
lirih. Namun pintu itu tidak dibuka. Kali ini pintu kuketuk dengan keras. Seorang
gadis kecil –umurnya belum mencapai tahun kesepuluh- membuka pintu. Dari sorot
lampu lilin redup yang dipegangnya, aku mengamati gadis cilik ini. Ternyata
pakaian yang dikenakan compang-camping. Pakaian itu telah lusuh dan sobek di
banyak tempat. Seolah itu seperti bulan purnama di balik gumpalan-gumpalan
awan.
“Apakah ada
orang sakit di keluarga kalian?” tanyaku kepada si gadis.
Seketika itu
napas panjang ditariknya sambil menangis keras hingga tali jantungnya
seakan-akan hampir putus.
“Ayahku sedang
sekarat. Ia hampir meninggal.” jawab si gadis dalam tangisnya.
Ia pun
berjalan di depanku. Aku segera mengikutinya di belakang. Aku terus berjalan di
belakang gadis itu hingga sampailah aku di sebuah kamar. Kamar itu memiliki
pintu sempit namun tinggi. Kamar dengan pintu kecil itu segera kumasuki. Tiba-tiba
aku seakan berpindah dari alam kehidupan nyata ke alam kematian. Aku melihat
kamar itu seperti lubang kubur. Sedangkan orang yang sakit itu seolah seonggok
mayit yang terbujur kaku.
Aku segera
mendekat ke arahnya. Hingga aku berdiri di sampingnya. Ternyata tulang-tulang
orang itu telah mengerut. Sedangkan napasnya terengah-engah. Sementara angin
tak henti-hentinya bertiup lembut di kamar kayu itu. Lalu aku meletakkan telapak
tanganku ke dahi orang itu. Ia segera membuka kedua matanya. Kemudian ia memandangi
wajahku. Pandangannya begitu lama. Sedikit demi sedikit ia mulai membuka kedua
bibirnya. Lalu dengan suara lirih, ia mengatakan, “Alhamdulillah, segala puji
bagi Allah. Kini aku telah menemukan temanku.”
Mendengar ucapan
itu, hatiku segera berjalan-jalan ke bagian dada dengan penuh ketakutan dan
kegelisahan. Pikiran dan ingatanku segera melayang terbang kepada temanku yang
telah hilang. Hingga aku benar-benar yakin bahwa secara tidak sengaja aku telah
menemukan temanku yang telah lama menghilang itu. Ya, dialah teman yang dahulu
aku berjanji agar tidak bertemu dengannya sedang dia telah berada di jalan
menjelang kematian. Seorang teman yang aku tidak ingin kesedihan yang terpendam
dalam hati dan terkubur di antara tulang-tulang rusukku kembali terbuka.
Aku segera
menanyakan kondisinya. Aku juga menanyakan keadaan yang dialaminya sekarang
ini. Seolah keramahannya kepadaku kembali bersinar dari lampu kehidupannya yang
telah redup dan kini sedikit bercahaya terkena cahaya. Ia memberi isyarat
kepadaku untuk duduk. Tanganku segera kulayangkan ke arahnya. Aku menguatkan
dan melebarkan tanganku hingga akhirnya ia bisa duduk tegak. Lalu ia segera
menceritakan kisah yang dialaminya.
Berikut ini penuturan
temanku:
Selama sepuluh
tahun aku dan ibuku tinggal di sebuah rumah. Di samping rumah tersebut tinggallah
salah seorang tetangga kami. Ia adalah orang kaya. Kehidupannya penuh
kenikmatan. Di dalam istana megah dan mewahnya hiduplah seorang gadis perawan yang
begitu cantik dan menawan seperti istana yang dihuninya. Aku tergila-gila
kepada gadis cantik itu. Saking cintanya, aku tidak bisa bersabar kepadanya. Tak
henti-hentinya aku berusaha untuk mendapatkan cintanya. Namun ia menolaknya. Cintaku
bertepuk sebelah tangan. Aku berupaya untuk merebut hati dan perhatiannya. Sayang,
ia mengelaknya. Dengan segala cara aku mencoba untuk masuk ke dalam sanubari
kecilnya. Akan tetapi, aku tidak bisa sampai kepadanya.
Hingga suatu
ketika aku bisa mendapatkan jalan keluar. Aku berjanji untuk menikahinya. Aku mendekatinya.
Usahaku mulai menyentuh hawa nafsu gadis itu. Aku berhasil merobohkan
kekuatannya. Aku segera merebut hatinya. Dan dalam sehari kesucian dan
kehormatannya segera kurenggut. Tidak lama setelah itu aku mengetahui bahwa dirinya
memiliki penyakit asma. Aku pun kecewa dan putus asa. Kini aku berada di antara
dua pilihan, berusaha untuk menunaikan janjiku ataukah aku akan memutuskan tali
cintaku kepadanya. Hingga akhirnya aku memilih pilihan kedua. Dengan segera aku
meninggalkan rumah yang engkau kunjungi ini. Aku tidak lagi kembali ke rumah
itu. Hingga akhirnya sedikitpun aku tidak mengetahui kabar tentangnya. Beberapa
tahun telah berlalu dari peristiwa tersebut hingga datanglah sepucuk surat dari
wanita itu melalui pos.
Temanku itu
lalu menjulurkan tangannya ke bawah bantal. Kemudian dengan cepat ia
menunjukkan surat yang dimaksud. Surat tersebut telah using dan menguning. Aku segera
membaca surat tersebut. Berikut ini isinya:
Kalau seandainya
aku menulis surat ini dalam rangka untuk memperbaharui janji dahulu atau
membuka kembali cinta lama kita, maka aku tidak akan menulis satu baris. Satu huruf
pun tidak. Karena sesungguhnya aku yakin sebuah janji seperti janjimu yang
penuh pengkhianatan atau sebuah sebuah rasa kasih seperti rasa kasih dusta nan
palsu darimu, tidaklah pantas untuk dirayakan sehingga aku harus mengingat-ingat
serta mengenangnya kembali, dan tidak pantas pula untuk kusesali sehingga aku
harus meminta untuk diperbaharui.
Sungguh,
engkau telah tahu ketika engkau meninggalkanku bahwa di antara kedua perutku
telah terdapat api yang menyala-nyala, telah terdapat janin yang sudah
bergerak-gerak, itu semua penyesalan untuk yang sudah berlalu dan kekhawatiran
terhadap masa depan. Namun semua itu tidak engkau perhatikan. Engkau justru
menelantarkan diriku. Sampai-sampai engkau tidak mau menoleh kepada belahan
jiwamu, yang merupakan hasil darimu. Engkau juga tidak mau berusaha untuk
mengusap air mata yang telah engkau alirkan. Maka setelah itu, apakah aku bisa
menggambarkan bahwa dirimu itu adalah seorang yang mulia? Bahkan aku tidak bisa
menggambarkan bahwa dirimu itu adalah seorang manusia. Karena tidaklah engkau
meninggalkan satu kesempatan dari berbagai kesempatan dalam jiwa yang jauh atau
bencana yang menakutkan melainkan engkau mengumpulkannya di dalam jiwamu. Dan semua
itu engkau tampakkan dalam satu penampakan.
Engkau telah
dusta ketika engkau mengaku mencintai diriku. Tidaklah engkau mencintai selain
dirimu sendiri. Semua hal yang engkau lihat dari diriku hanyalah untuk
memuaskan nafsumu saja. Kebetulan engkau bertemu diriku untuk memuaskan nafsumu
itu. Kalau bukan hal tersebut, pasti engkau tidak akan mengetuk pintu rumahku. Engkau juga tidak akan memandang wajahku.
Engkau
telah menipuku. Engkau telah mengkhianatiku dalam janjimu untuk menikahiku. Engkau
telah mengingkari janjimu dengan alasan jiwamu tidak ingin menikahi wanita
pendosa atau wanita yang belum dewasa. Tidaklah wanita itu pendosa, bukan pula
wanita itu belum dewasa melainkan semua itu hanyalah rekayasa tanganmu dan
buat-buatan jiwa serta nafsumu. Kini aku menjadi seorang terhina dan yang
teriris-iris hatinya. Hidup terasa begitu berat. Kematian terasa masih sangat
lama. Apakah masih ada kenikmatan bagi seorang wanita yang tidak bisa menjadi
istri bagi seorang laki-laki? Tidak pula ada kenikmatan bagi wanita yang tidak
bisa menjadi seorang ibu bagi anaknya! Bahkan tidak ada kenikmatan bagi wanita
yang tidak bisa hidup di tenga-tengah masyarakat dan pergaulan manusia,
melainkan dalam pergaulannya ia selalu menundukkan kepala, menurunkan kelopak
matanya, dan merendahkan pipinya. Semua persendiannya gemetar dan menggigil. Penyakit
asmanya menimbulkan suara. Wanita itu berada dalam ketakutan untuk
ditelantarkan dan dijadikan bahan ejekan maupun olokan.
Engkau telah
merampas kebahagiaanku. Karena setelah peristiwa itu, aku terpaksa harus
meninggalkan istana itu. Sebuah istana yang dahulu aku hidup dalam kesenangan
dan kenikmatan hidup bersama ayah dn ibuku. Lalu aku lari meninggalkan semua
kenikmatan melimpah dan kehidupan mewah itu menuju rumah hina nan rendah di
sebuah desa yang telah ditinggalkan oleh penduduknya, yang tidak diketahui lagi
oleh seorang pun, yang pintunya tidak pernah diketuk. Dalam rumah itu aku
habiskan masa mudaku dari sisa-sisa hidupku.
Engkau telah
membunuh ayah dan ibuku. Aku tahu bahwa keduanya telah meninggal. Dan aku yakin
kematian keduanya karena kesedihan yang menimpa mereka berdua atas kehilangan
diriku dan keputusasaan untuk bisa bertemu dengan diriku lagi.
Engkau juga
telah membunuh diriku. Karena sesungguhnya kehidupan pahit yang aku teguk dari
gelasmu, angan-angan panjang yang aku dapatkan karena dirimu, telah mencapai
puncaknya pada badan dan jiwaku. Hingga aku menjadi seorang wanita yang
terbaring di atas tempat tidur kematian. Kini aku ibarat sumbu sebuah lampu
yang terbakar, yang sedikit demi sedikit napasnya habis menyambut kematian. Aku
yakin bahwa Allah akan menolongku dan mengabulkan doaku. Aku yakin Allah akan
memindahkanku dari negeri kematian dan kesengsaraan menuju negeri kehidupan dan
kebahagiaan. Sementara dirimu adalah pendusta dan pengkhianat, engkau adalah
perampok dan pembunuh. Aku yakin Allah tidak akan membiarkanmu tanpa
mengambilkan hakku darimu.
Tidaklah aku
menulis surat ini dalam rangka untuk menagih janjimu. Tidak pula untuk
mengobarkan kembali rasa cinta itu. Karena di mataku, engkau terlalu hina dan
terlalu rendah untuk semua itu. Sungguh, kini aku telah berada di pintu kubur. Tak
lama lagi aku akan meninggalkan semua kehidupan dunia ini, kebaikannya,
keburukannya, kebahagiaannya, maupun kesengsaraannya. Aku sudah tidak lagi
mengharapkan rasa cintamu. Tidak lagi aku menginginkan janjimu. Aku menulis
surat ini hanya karena engkau memiliki tinggalan yang ada pada diriku, yaitu
anak hasil perbuatanmu. Kalau yang mendorongmu untuk datang adalah kasih sayang
yang muncul dari hatimu, dan engkau bisa hidup dengannya sebagai seorang ayah
yang mencintainya, maka terimalah anak tersebut agar ia tidak mendapatkan
kesengsaraan sebagaimana yang telah dirasakan oleh ibunya sebelum dirinya.
Begitu selesai
membaca surat tersebut, aku segera memandang dan menoleh ke arah temanku. Aku melihat
air matanya kembali meleleh melalui kedua pipinya.
“Lalu apa yang
terjadi setelah itu?” tanyaku kepadanya.
“Sungguh,
tidaklah ketika aku selesai membaca surat tersebut melainkan semua anggota
badanku merinding. Semuanya menggigil dan bergetar. Aku merasa bahwa dadaku ini
seperti hendak terbelah dari hatiku karena rasa pedih dan ketakutan. Maka dengan
segera aku mendatangi rumah wanita tersebut yang tidak lain adalah rumah yang
engkau lihat sekarang ini. Aku melihat wanita itu berada di dalam kamar ini, di
atas tempat tidur ini. Badannya terbujur kaku tidak bergerak. Sementara itu aku
melihat putrinya berada di sampingnya tak henti-hentinya menangis kesedihan dan
kepahitan. Seketika itu aku pingsan melihat ngerinya pemandangan yang aku
lihat. Aku tak sadarkan diri. Seluruh kejahatanku masuk ke dalam baying-bayang
dalam pingsanku. Seolah-olah semua kejahatan itu menjadi hewan buas yang
mematikan. Ya, ia seperti singa-singa yang siap menerkam. Satu singa
mencakarkan kuku-kukunya. Singa yang lainnya lagi menajamkan taringnya. Begitu aku
sadar dari pingsan hingga aku berjanji kepada Allah untuk tidak meninggalkan
kamar ini. kamar yang aku namai sebagai kamar kesedihan. Aku tidak akan
meninggalkannya hingga aku merasakan hidup seperti hidup yang dirasakan wanita
itu dan agar aku mati dengan kematiannya. Maka sekarang ini, pada hari ini, aku
akan mati dengan penuh keridhaan dan kebahagiaan.
Begitu sampai
pada kisah ini, lisan temanku langsung terbungkam, wajahnya menjadi muram. Ia pun
terhempas ke dipannya. Nyawanya meregang sambil mengatakan, “Tolong engkau
rawat putriku, wahai temanku!”
Setelah peristiwa
itu, aku tinggal sejenak di rumah temanku untuk menunaikan kewajiban yang harus
ditunaikan kepada seorang teman. Kemudian aku menulis surat yang aku tujukan
kepada semua teman-teman dan orang-orang yang mengenalnya. Tidaklah terlihat
sebuah hari yang lebih banyak tangisan dari para lelaki maupun wanita seperti
hari itu.
Ketika kami
melemparkan tanah di atas kuburnya
Kami semua
takut, akan tetapi waktu apakah yang pantas untuk ditakuti
Allah
mengetahui bahwa aku menuliskan kisahnya. Aku tidak bisa menguasai dan
mengendalikan diriku untuk tidak menangis dan meratap. Aku tidak akan melupakan
pesan yang disampaikan oleh temanku itu, yaitu ketika ia menitipkan jiwa
kehidupan. Ya, aku tidak akan melupakan ucapannya, “Tolong engkau rawat
putriku, wahai temanku!”
Maka, wahai
para lelaki yang memiliki hati kuat! Bersikap lembutlah kalian semua kepada
para wanita yang memiliki jiwa lemah. Sesungguhnyan kalian semua tidak
mengetahui hati apa yang kalian buat sedih dan air mata apa yang kalian tumpahkan,
ketika kalian mengkhianati kehormatan dan kesucian mereka.
Diambil dari buku 100 Kisah
Tragis Orang-Orang Zalim karya Hani Al Hajj
No comments:
Post a Comment
Pastikan Anda menyertakan nama dan URL/username Anda agar tidak masuk spam.