Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahlan wa sahlan di dunia 'Baru Belajar'
love

Tuesday, June 21, 2011

Karena Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga



Bismillah,
Abu Mas’ud radhiallahu anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya di antara ucapan yang diperoleh manusia dari kenabian yang pertama adalah: Jika kamu tidak mempunyai rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Al-Bukhari no. 6120)
Mungkin hadist di atas tepat untuk menggambarkan kisah yang akan disampaikan berikut ini. Ini ceritaku, bagi yang mau memperhatikan. Kemarin Ahad (19 Juni 2011), sepulang dari ta’lim sekitar pukul 11.30 WIB, aku pergi ke warung yang ada di Pogung Kidul, dititipi beli lotek oleh teman kost. Sesampainya di sana, warung lotek yang bertuliskan Soto asli Sokaraja  milik Bu S itu tidak begitu rame, hanya ada 2 orang perempuan yang antri lotek juga. Ibu pemilik warung pun melayani kedua mbak-mbak tadi kemudian tibalah giliranku. Setelah kedua mbak tadi pergi, Ibu ini membuka pembicaraan.
“Ibu punya langganan di sini lho mbak, bercadar. Dia pernah ke sini makan sama cowoknya.”
“Hm, suaminya kali, Bu”, timpalku dengan tenang.
“Bukan, saya kenal baik kok sama Mbak itu, orang dia suka curhat ke Ibu. Dia emang baru berapa bulan pake cadar, sebulan mungkin, dulu ya biasa pake celana jeans gitu. Dia pernah bilang ‘panas Bu pake ini (cadar)’. Ibu bilang aja ‘Lha iya wong kamu gak ikhlas makenya’. Saya ketus-ketusin aja, Mbak. Sudah saya nasihati tapi tetap gak mau berubah.”
“Laki-lakinya seperti apa, Bu?”
“Ya, berjambang gitu, Mbak.”
Singkat cerita, Mbak itu adalah mahasiswa. Ibu pemilik warung ini sudah beberapa kali mengingatkan dan menasihati Mbak itu, tapi sepertinya tidak ditanggapi oleh Mbak itu. Namun, sekarang Mbak itu sudah tidak pernah ke warung ini semenjak Ibu pemilik warung menasihatinya.
Masyaa Allah, mau dikata apa? Ibu ini teringat dengan kasus ini setelah melihatku. Mungkin beliau akan bercerita kepada perempuan lain yang berpenampilan serupa. Padahal ibu ini orangnya baik banget, ramah kepada semua orang. Bukan salah ibu ini kalau beliau berkata begitu karena memang tujuannya bukan untuk menjelek-jelekkan perempuan bercadar. Posisi beliau ada pada pihak yang benar karena malah beliau yang menasihati Mbak itu untuk tidak melakukan perbuatan yang kurang adab.
Jika kekhilafan dilakukan oleh wanita bercadar, maka yang bermasalah bukan cadarnya melainkan pada individunya.
Memang panjangnya jilbab bukan ukuran mutlak kadar keimanan dan baiknya akhlaq seorang wanita. Namun, sungguh jahil pula jika seseorang merendahkan atau menolak berhijab syar’i dengan berdalih ‘yang bercadar aja berani pacaran, mending aku ya walaupun jilbabku gak selebar itu tapi gak pacaran’ atau ‘daripada udah berjilbab tapi tetep pacaran, mending gak berjilbab tapi gak pacaran’ atau perkataan senada lainnya. Wal iyya dzubillah.
Rasa malu merupakan bagian dari keimanan bahkan dia merupakan salah satu indikator tinggi rendahnya keimanan seorang muslim. Karenanya, manusia yang paling beriman -yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam- adalah manusia yang paling pemalu, bahkan melebihi malunya para wanita yang dalam pingitan.
Malu adalah suatu akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan suatu amalan yang mencoreng jiwanya, karena akhlak ini bisa mendorong dia untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemungkaran. Dia merupakan hijab yang bersifat umum yang diperintahkan kepada setiap muslim baik dia laki-laki maupun wanita. Karenanya, terkhusus bagi kaum wanita, mereka diwajibkan untuk mengenakan dua jenis hijab: Hijab umum yaitu rasa malu dan hijab khusus yang berupa pakaian. Wanita mana saja yang berhijab dengan hijab khusus tapi menanggalkan hijab umumnya, maka pada hakikatnya dia telah menampakkan perhiasannya dan menanggalkan hijabnya yang sebenarnya. Karenanya, hijab umum tidak kalah pentingnya dengan hijab khusus.
Di antara bentuk malu yang paling utama adalah malu kepada Allah, seperti malu jika Allah Ta’ala melihatnya ketika dia sedang berbuat maksiat atau malu kepada-Nya untuk menampakkan auratnya walaupun dia sedang sendirian. Termasuk malu ibadah adalah malunya seorang wanita dari menampakkan perhiasannya kepada siapa yang dia dilarang untuk menampakkannya. (al atsariyyah)
Hati yang tumbuh dan berkembang, ia akan merasakan manisnya keimanan, dan itu lebih lezat dibandingkan apa yang ia dapatkan. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, engkau akan memperoleh lezatnya keimanan apabila engkau menundukkan pandangan, ia tundukkan pandangannya karena Allah. Barangsiapa yang meniggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik. Jiwa itu suka memandang yang indah-indah sedangkan mata adalah utusan hati, dimana hati akan mengutus mata ketika mata memberitahukan bahwa sesuatu itu indah, maka hati akan merinduinya, hati itupun akan lelah sebagaimana lelahnya utusannya yaitu mata. Dan ketika kau mengumbar pandanganmu, ia akan semakin membuat hatimu letih, padahal apa yang kau lihat belum tentu akan didapati, keletihan akan menjadikan tersiksanya hati.
Bilal bin Saad berkata: Janganlah engkau melihat kepada kecilnya dosa, tetapi lihatlah terhadap siapa engkau bermaksiat. (Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd)
Walaupun aku tidak pantas untuk memberi nasihat seperti ini karena jika engkau mengetahui diriku seperti apa yang aku ketahui niscaya engkau akan menyirami kepalaku dengan pasir. Namun, kunasihatkan ini untuk diriku sendiri dan kepadamu wahai saudaraku. Kunasihatkan kepada diriku sendiri karena betapa ku-masih sangat lemah iman-Nya, dan kunasihatkan kepada kalian karena kalian adalah saudara-saudaraku dan kumencintai kalian. “Agama itu nasihat.”
Allahu a'lam


No comments:

Post a Comment

Pastikan Anda menyertakan nama dan URL/username Anda agar tidak masuk spam.