Bismillah,
Alhamdulillah,
sudah sepatutnya kita bersyukur karena Allah telah melimpahkan kenikmatan yang
mungkin tidak bisa dirasakan oleh kebanyakan kaum muslimin yaitu berupa anugerah
menuntut ‘ilmu tentang agama Allah. Ingatlah sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam yang dikeluarkan oleh Al Imam Bukhari dan Muslim dari
hadist Mu’awiyah bin Abi Sufyan “Barangsiapa yang diinginkan oleh Allah
kebaikan atasnya, maka Allah akan pahamkan ia tentang agamanya.” (HR.
Bukhari dan Muslim) Mahfum dari hadist ini bahwa barangsiapa yang tidak
diinginkan oleh Allah kebaikan atasnya, maka dia tidak akan dipahamkan oleh
Allah atasnya agamanya. Jadi, kita tidak bisa bersantai ria, tenang-tenang saja
ketika kita tidak memahami tentang agama Allah. Kalau kita masih punya iman
kepada Allah semestinya muncul di dalam hati kita kekhawatiran kenapa kita
sampai tidak paham tentang agama Allah ini. Apakah semua ini menunjukkan bahwa
Allah menginginkan kepada kita keburukan? Oleh karena itu, ketika Allah
memberikan kita kesempatan untuk menuntut ‘ilmu dan yang lebih penting daripada
itu Allah membukakan hati kita sehingga kita mau meluangkan waktu untuk
menuntut agama Allah, ini sudah merupakan anugerah besar dari Allah. Kita
berharap semoga Allah melanggengkan kepada kita kenikmatan yang besar ini.
Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah untuk tetap istiqomah dalam mempelajari,
memahami, meng’amalkan, dan mendakwahkan agama Allah.
Barangsiapa
yang diinginkan Allah kebaikan, pasti Allah pahamkan ia tentang agamanya.
Barangsiapa yang memahami agama Allah, maka pintu kebaikan ada di hadapannya.
Barangsiapa yang dimudahkan oleh Allah untuk menempuh jalan menuntut ‘ilmu,
maka Allah telah memudahkan untuknya jalan menuju surga. Di sini bahwa orang
yang menuntut agama Allah tidak akan sia-sia. Apakah jalan yang dia tempuh itu
adalah jalan yang hissi yaitu ia keluar dari rumah kemudian
naik kendaraan, atau berjalan kaki sampai ke majelis ‘ilmu, ini terhitung sebagai
orang yang menempuh jalan ‘ilmu. Demikian pula ketika ia membuka buku, mencatat
pelajaran, memahami ‘ilmu-‘ilmu yang disampaikan tentang agama Allah ini, maka
itu adalah menempuh jalan ‘ilmu. Dengan demikian, patut kalau ia termasuk dari
sabda Rasulullah “Allah mudahkan baginya jalan menuju surga”.
merupakan hal yang bathil apabila ada yang menyatakan bahwa surga dapat didapat
tanpa ‘ilmu. Dengan apa ia dapat mencapai surga Allah tanpa ’ilmu sementara
Allah telah menjadikan jalan menuju surga ini jalan ‘ilmu? Oleh karena itu,
surga tidak bisa dicapai tanpa ‘ilmu. Agama ini tidak dibangun di atas
duga-duga, sangka-sangka, angan-angan tetapi dengan ‘ilmu yaitu ‘ilmu yang
bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan pemahaman salafus shalih. Hal-hal yang demikian ini
perlu kita ulang, kita ingat-ingat, supaya kita dalam menutut ‘ilmu tidak
hambar, bukan hanya sekedar rutinitas, tetapi ada tujuan dan misi yang kita
emban yaitu kita ingin sampai ke surga Allah.
Langkah kita
adalah menempuh jalan ‘ilmu. Dengan kita memahami ajaran agama Allah, kita bisa
mengamalkan sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah kemudian kita bisa
menyampaikannya kepada orang lain. Ini tahapan-tahapannya, kalau sudah punya
‘ilmu, maka amalkan karena ‘ilmu tanpa amal tidak bermanfaat. ‘Ilmu tanpa ‘amal
seperti pohon tanpa buah. “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa
engkau mengucapkan apa yang tidak kau perbuat? Allah sangat murka apabila
kalian mengucapkan apa yang tidak kalian perbuat.” Demikian pula
firman Allah “Apakah kalian mengajak manusia kepada yang baik dan
melarang kepada yang mungkar, dan kalian melupakan diri-diri kalian sendiri
padahal kalian membaca kitab. Apakah kalian tidak berpikir?”
Tahapan setelah
‘amal adalah mendakwahkannya. Jangan membayangkan bahwa menyampaikan agama ini
hanya tugas para ulama, suyuth, masyaikh, du’at, asatidzah, para mubalighin,
melainkan tugas mengajak kepada agama ini ada di atas pundak kita masing-masing
sesuai kemampuannya/kapasitasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Sampaikan daripadaku walau satu ayat.” (HR
Bukhari dan Muslim). Walaupun hanya satu ayat, tetapi sangat bermanfaat
bagi dakwah Islam. Ini adalah semangat beragama yang harus kita pupuk di
tengah-tengah kaum muslimin.
Al ‘ilmu wal
amal wa dakwah ilallah. Tidak ada yang lebih mulia daripada ketiga kedudukan
ini. Allah berfirman ”Siapakah yang lebih baik ucapannya dari orang
yang mengajak kepada jalan Allah dan ber’amal dengan ‘amalan yang baik dan ia
berkata sesungguhanya aku termasuk dari orang-orang Islam.” Inti dari
islam adalah kita menundukkan diri, menghambakan diri, merendahkan diri kepada
Dzat yang telah menciptakan kita. Sebagaimana kita tahu bahwa yang telah
menciptakan kita adalah Allah. Alah menciptakan kita sebagai hamba yang selalu
mengibadahi Allah. “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali
agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyaat: 56) Kita
jangan lupa bahwa amanah atau tugas yang kita di atas muka bumi ini adalah
untuk beribadah kepada Allah, menundukkan diri, menghambakan diri, merendahkan
diri di hadapan Allah. Tidak boleh kita menghambakan diri kecuali menjadi hamba
Allah saja. Semua kehidupan dan kematian kita adalah milik Allah, tidak ada
yang selain-Nya. Ini adalah prinsip dari Islam yaitu tauhid. Allah mengajarkan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui
firman-Nya “Katakan wahai Nabi, sesungguhnya shalatku dan sembelihanku,
hidupku dan matiku hanya untuk Allah Rabb semesta alam, tidak ada sekutu
bagi-Nya. Yang demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama kali memfatwakannya.”
Kita bukan
hamba siapa-siapa, kita adalah hamba Allah yang semestinya kita menyerahkan
kehidupan, kematian dan segala yang ada pada kita hanya untuk Allah. Kalau
sampai kita dipalingkan oleh kehidupan-kehidupan dunia ini dari predikat kita
sebagai hamba Allah berarti kita telah melenceng dari tujuan Allah menciptakan
kita. Dan tidak akan bahagia orang yang tidak menghambakan diri kepada Allah,
bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendo’akan
kecelakaan kepada orang-orang yang menjadi penghamba dunia, pengidola dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Celaka
para hamba dinar, celaka para hamba dirham, celaka para hamba pakaian sutera
dan pakaian beludru, celaka dia dan terbalik dia, kalau dia tertusuk duri, maka
tidak akan ada yang bisa mencungkilnya“. Artinya siapa yang
mengharapkan keselamatan kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sendiri yang mendoakan kecelakaan baginya. Para penghamba dan
budak dunia tidak akan selamat di dunia dan akhirat anti. Jangan kita kira
bahwa dunia ini akan mendatangkan kesenangan dan kemuliaan hidup, justru
sebaliknya kalau kita bisa sedikit mengambil pelajaran dari orang yang
terjungkal di dalam meraih kehidupan dunia ini, kita akan tahu betapa
nestapanya nasib para penghamba dunia. Mungkin mereka punya jabatn, harta,
tetapi jangan kira hidup mereka bahagia. Kita yakin bahwa orang yang berpaling
dari Allah sudah pasti tidak akan memperoleh kebahagiaan sebab Rasul yang
mendoakan kecelakaan bagi orang-orang seperti itu.
Lain halnya
dengan orang yang mempelajari ‘ilmu agama. Allah berfirman “Bukankah
dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tenang?”. Dzikir kepada
Allah, mengingat Allah, mempelajari agama Allah mengamalkannya, ini adalah
kebahagiaan hidup. Orang yang merasakan manisnya kenikmatan iman tidak akan
mengganti kemuliaan yang dicurahkan Allah ini dengan yang selainnya.
Kebahagiaan
yang didapat dari mempelajari ‘ilmu agama, mendakwahkannya, tidak sebanding
dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang ditawarkan dari dunia. Rasul menggabarkan
kenestapaan orang-orang yang menjadi penghamba dunia. “Barangsiapa yang
keinginannya, perhatiannnya adalah dunia, orientasi hidupnya adalah dunia,
Allah jadikan kefaqirannya ada di hadapan matanya.” Bisa jadi dia punya harta,
kedudukan, jabatan, dll tetapi Allah menjadikan kefaqirannya ada di hadapannya,
itu semua tidak memuaskannya. Ia terus dihantui oleh kepenatan-kepenatan dunia,
keserakahan-keserakahan dunia, berbagai kesibukan-kesibukan dunia sehingga
dengan ia memilki harta bertambah pula kesibukannya, kepenatannya, sebagai
konsekuensi dari kesibukan, bertambah pula stresnya, kebutuhanannya,
tuntutannya. Terus seperti itu, sampai-sampai banyak di antara mereka yang
tidak merasakan harta yang ia miliki. Orang yang tidak punya harta, sebagai
contoh jika kita suguhi makan dengan nasi yang hangat lauk tempe, kecap, sambal
terasi, makannya bisa 2 atau 3 piring, sementara orang kaya yang katanya makan
paginya di Jakarta, makan siangnya di Singapura, kemudian makan malamnya di
Amerika tidak bisa merasakan kenikmatan yang dirasakan oleh si miskin. Ini
adalah karunia yang tidak bisa dihitung dengan rupiah atau dollar, ini
merupakan kenikmatan yang luar biasa yang Allah berikan hanya kepada
hamba-hamba yang dirahmati Allah. Ini menunjukkan dunia bukan segala-galanya.
Allah jadikan kefakiranya ada di hadapannya, ia pun merasa butuh, merasa
kurang, rakus, membuktikan bahwa ia adalah orang yang faqir. Apa itu faqir? Adalah
orang yang butuh pada sesuatu. Orang yang seperti ini tidak pernah merasa puas.
Hartanya melimpah, usahanya besar, tetapi belum tentu ia adalah orang yang
mempunyai kecukupan. Ia terus dihantui oleh perasaan kurang dan kurang.
Orang yang
menjadi penghamba dunia, Allah jadikan kefakirannya ada di hadapannya. Kemudian
Allah akan cerai-beraikan perhatiannya. Orang ini akan disibukkan dengan
berbagai kepenatan, agenda-agenda padat sehingga tidak punya waktu untuk
istirahat melepaskan letihnya, apalagi yang bersemboyan waktu adalah uang,
mulai dari ia membuka mata sampai ia menutup mata dia hanya sibuk dengan dunia.
Itupun kalau ketika ia harus menutup mata, ia harus mau pula mengorbankan
istirahatnya demi mengejar dunia. Kalau dahulu Imam Al Bukhari bisa bangun 20
kali dalam semalam dalam rangka ‘ilmu untuk mencatatkan hadist yang telah
beliau cari, sementara ashabuddunia bisa lebih 20 kali untuk
mengangkat telepon, hubungan bisnis. Celaka orang-orang seperti ini, padahal
harta yang ia kumpulkan apakah bisa ia habiskan sendiri? Yang ia bawa hanya
kain kafan yang harganya mungkin tidak seberapa.
Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa
yang kepentingannya, perhatiannya, orientasi hidupunya adalah akhirat, Allah
jadikan kekayaannya berada di dalam hatinya.” Kekayaannya bukan berupa
kekayaan harta melainkan kekayaan hati berupa puas, ketenangan dan merasa cukup
atas apa yang diberikan Allah kepadanya. Ini nikmat yang tidak bisa
dibandingkan dengan dunia dan seisinya. Jika kekayaan seseorang ada di dalam
hatinya, ia tidak akan merasa kurang walaupun apa yang diberikan oleh Allah
adalah sedikit. Ia bisa makan dengan enak, tidur dengan nyenyak, bisa tetap
mempelajari ‘ilmu tentang agama Allah, mengamalkannya, mendakwahkannya.
Walaupun kehidupannya sederhana, bersahaja, tetapi ia adalah orang yang bahagia
tidak seperti kehidupan ashabuddunia. Ini merupakan karunia dari Allah. Belum
lagi kebaikan-kebaikan lainnya, dengan adanya sikap zuhud, sabar sehingga ia
merasa bahagia dalam hidupnya, tidak merasa suntuk.
“Biarlah mereka sibuk mengejar dunia ,
kita akan mengejar akhirat. Kalau dia tambah maju usahanya kalau kami akan
tambah maju ‘ilmunya. Kalau dia membuka cabang perusahaan baru, maka saya akan
membuka kitab baru.”
Jangan sampai
kita terpancing berlomba pd perkara dunia untuk sesuatu yang berakhir dengan
penyesalan. Allah berfirman, “Apa yang ada di sisi kalian akan binasa
semuanya, dan apa yang di sisi Allah adalah kekal selamanya”. Kalau
kita mau berpikir dengan pemikiran seseorang yang agamis, jangan sampai kita
berlomba di dalam perkara dunia dengan perkara dunia yang lain karena ini
adalah kerugian. Apabila kita melihat ashabuddunia berlomba
dengann perkara dunia, maka kita berlomba dengan akhirat dengan kebaikan yang
dibukakan oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Berlombalah kalian memperbuat amalan-amalan untuk mengalahkan berbagai fitnah
termasuk fitnah dunia yang fitnah ini datangnya seperti potongan-potongan malam
yang gelap gulita. Seorang di pagi hari dalam keadaan mukmin tetapi di sore
harinya ia telah kafir.” Ini adalah fitnah yang akan datang dan
menimpa kita apabila kita tidak berhati-hati terhadap fitnah tersebut. Orang
yang seperti ini adalah orang yang menjual agama hanya untuk kesenangan dunia
yang sedikit. Ia korbankan agamanya demi kepentingan dunia sehingga di pagi
hari ia mukmin, di sore hari telah kafir. Jual beli agama hanya untuk
kesenangan dunia yang sedikit. Mereka itulah orang-orang yang telah membeli
kesesatan dengann harga petunjuk. Perdagangan mereka tidak akan beruntung dan
mereka tidak akan memperoleh petunjuk.
Jangan sampai
karena kesenangan dunia kemudian kita melalaikan agama kita. Jangan sampai
karena gemerlap dunia kemudian kita tinggalkan agama kita. Ini adalah prinsip
yang harus kita pahami terutama orang yang hidup di kota-kota besar terutama di
ibu kota, tuntutan untuk masalah dunia ini lebih besar dibandingkan orang yang
hidup di kota-kota lain misalnya Jogja, Kebumen, atau kota kecil lainnya (he,
kotaku disebut). Maka jangan sampai kita terlalaikan dengan kehidupan dunia
dibandingkan kita berlomba untuk sampai kepada Allah. Dunia ini fana, tidak ada
apa-apanya sebagaimana dalam Shahih Al Bukhari, “Allah memiliki 100
rahmat dan Allah hanya menurunkan satu rahmat saja ke muka bumi sedangkan 99
rahmat lainnya disimpan Allah untuk akhirat.” Tidak ada apa-apanya
dunia ini kalau kita bandingkan dengan surga yang digambarkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menggambarkan surga itu kesenangannya tidak pernah dipandang
oleh mata, tidak pernah didengar oleh manusia, tidak pernah terbetik sedikitpun
di dalam hati manusia. (Mutafaqqun ‘alaih)
Mau kita ganti
dengan dunia yang seperti ini? Ini adalah jual beli yang sangat rugi maka
jangan sampai kehidupan dunia kita mengalahkan atas akhirat.
Jika ada yang berkata,“Saya ingin
mengumpulkan antara dunia dan akhirat.” Boleh saja, Alhamdulilllah, tetapi
kebanyakan orang yang mencoba mengumpulkan keduanya, yang terkumpul adalah
dunianya sementara akhiratnya hilang.
“Nanti kalau saya sudah menjadi
usahawan, bisnisman, eksekutif muda saya akan berinfaq, rajin ngaji, dll.”
Dengan rencana-rencana yang menumpuk, coba saja. “Semoga Allah
merahmati seseorang yang tahu akan kadar dirinya.” Kita tidak perlu
muluk-muluk, kerjakan apa yang ada di depan kita, bukan berarti kita
meninggalkan dunia. Kita harus mencari kehidupan kita, mengejar dunia kita
sesuai apa yang dimudahkan oleh Allah tetapi yang paling penting yang menjadi
orientasi hidup kita adalah kehidupan akhirat.
Sanggupkah kita
seandainya kepentingan dunia kita berbenturan dengann kepentingan akhirat
kemudian kita mendahulukan akhiratnya? Sebagai contoh sekarang ini jadwal ngaji
tetapi pada jam yang sama ada orang yang menginginkan barang kita. Mana yang
didahulukan? Banyak dari kita mengorbankan jadwal kajian hanya untuk kepentingan
urusan dunia.
Kita butuh
untuk selalu mengingat bahwa kita adalah hamba Allah. Kita diciptakan bukan
untuk kepentingan-kepentingan dunia. Allah menciptakan kita untuk mengibadahi
Allah. “Sungguh Kami telah mempersiapkan bagi neraka jahannam kebanyakan
manusia dan jin, mereka mempunyai hati-hati tetapi tidak bisa memahami
dengannnya kebenaran (agama Allah), mereka punya pendengaran tetapi tidak
mendengarkan dengannya agama Allah, mereka punya pandangan-pandangan tetapi
mereka tidak melihat dengannya agama Allah. Mereka itu seperti binatang ternak
bahkan lebih sesat daripada binatang. Mereka adalah orang-orang
yang rusak/lalai/lengah.” Maka jangan sampai kehidupan dunia kita
mengalahkan akhirat. Tetap kita bekerja tetapi berprinsip bukan semata-mata
untuk urusan dunia tetapi sebagai sarana/fasilitas yang akan mengantarkan kita
sebagai hamba Allah. Jangan kita jadikan dunia sebagai tujuan dan akhirat
sebagai sarana tetapi jadikan akhirat sebagai tujuan sementara dunia sebagai
sarana.
Dari Abi Sa’id
Al Khudriiy bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukan
kefakiran yang aku khawatirkn atas kalian, tetapi yang aku khawatirkan adalah
dibentangkan dunia atas kalian kemudian kalian berlomba-lomba mencari dunia
sebagaimana orang-orang sebelum kalian berlomba-lomba mencari dunia, maka dunia
itu akan membinasakan kalian sebagaimana dunia itu membinasakan orang-orang
sebelum kalian.” (HR. Imam Bukhari). Jadi, kefakiran itu
bukanlah problem, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khawatirkan
adalah jika kita kaya. Kefakiran biasanya akan menjadikan seseorang mengingat
Allah sedangkan kekayaan akan melalaikan dari agama Allah. Orang yang kaya
kebanyakan akan menjadi sombong bahkan seakan-akan tidak ada Rabb di atasnya.
Qarun berkata “Tidaklah aku diberikan harta ini tetapi karena
pengetahuan yang ada padaku.”
Bukan
kemiskinan yang menjadi masalah melainkan yang menjadi masalah adalah lunturnya
perhatian terhadap agama kita, bahkan ada yang merasa malu jika berpegang teguh
pada agama Allah. Sebagai contoh kecil yaitu jika seseorang ditanya “Belajar
dimana?”, maka ia akan menjawab dengan bangga jika ia sekolah di luar negeri
(misal Jerman, Inggris, dll), tetapi ia akan menjawab dengan malu-malu jika
“Saya mondok.” Ini menunjukkan seseorang yang tidak punya mental agama yang
baik.
Urusan-urusan
dunia adalah fana dan akan berujung pada kesengsaraan. Ibnul Qoyyim dalam
Ighasatul lahaban berkata tentang kesengsaraan ashabuddunia, yaitu:
1) keletihan dan kecapaian yang pasti, 2) kegundah-gulanaan yang terus-menerus,
tamak, tidak merasa cukup, selalu kurang, 3) penyesalan yang tiada henti,
menyesal baik ketika berhasil maupun ketika gagal.
Jangan sampai
kita berputar-putar dalam lingkaran syaithan yaitu sibuk dengan urusan dunia
dan meninggalkan agama. Di hadapan kita ada kehidupan yang mulia di mata
manusia dan mulia di sisi Allah yaitu menuntut ‘ilmu agama. Barangsiapa yang
diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan
barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberinya
petunjuk.
Allahu a’lam
bish showwab.
Sumber: rekaman
ta'lim berjudul Hati-hatilah terhadap dunia oleh Ustadz Abdul Mu’thi Al
Maidaniy.
NB: 14 November 2014, tulisan ini diposting saat masih syubhat (2011), namun sekarang sudah jelas posisi beliau dimana dan sudah jelas pula bagaimana kita harus menyikapinya. Bentengi diri kita dari syubhat MLM. Waffaqanallah.